Jumat, 28 Maret 2014

FORUM Thn. XLI No. 2/2013 "Seni, Manusia dan Tuhan di Zaman Modern"


Majalah FORUM Thn. XLI No. 2/2013 mengangkat tema "Manusia di Jaman Modern".
"Seni, Manusia, dan Tuhan di Jaman Modern" merupakan terminologi yang menggambarkan situasi kebebasan manusia. Manusia dengan kebebasannya dapat mengeksplorasi diri melalui seni. Seni merupakan hasil karya manusia. Ketika seni dibawa dalam ranah refleksi teologis, maka seni dapat berbicara mengenai kehidupan manusia. Manusia terus bergulat dengan dirinya. Ia menghadapi situasi kehidupan yang terdapat adanya penderitaan sesamanya manusia. Penderitaan datang di tengah-tengah situasi dunia yang semakin berkembang. Dunia modern secara perlahan mempertanyakan keberadaan Tuhan yang pernah diakui oleh manusia sebagai Pribadi yang Agung dan Transendental. Di jaman modern, Tuhan sebagai Pribadi yang demikian selalu dipertanyakan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia melalui karya seninya, ingin mengangkat memori manusia yang mengalami penderitaan dan terus merefleksikan Tuhan di tengah dunia modern.  

FORUM adalah jurnal ilmiah yang bertujuan untuk menjadi wadah bagi pemikiran filosofis serta teologis mahasiswa/i STFT Widya Sasana (secara khusus) dan kalangan akademisi, mahasiswa serta masyarakat (secara umum). Jurnal ini diterbitkan oleh mahasiswa/i STFT Widya Sasana 
dua kali selama satu tahun.

ALAMAT REDAKSI:
FORUM STFT Widya Sasana
Jl Terusan Rajabasa 2 PO BOX 96 Malang 65416
e-mail: forum_stftws@yahoo.com
website: www.forumstftws.org

Rabu, 17 April 2013

Bioetika


ABORSI : PAHAM KEBEBASAN
KAUM PRO PILIHAN
DAN
TANGGAPAN REFLEKTIF GEREJA


Pendahuluan
       Masalah aborsi sampai hari ini masih hangat dibicarakan dan menarik perhatian setiap orang. Siapa pun di antara kita sangat meyakini bahwa tindakan aborsi merupakan salah satu tindakan kejahatan atas kehidupan atau kemanusiaan. Betapa mengerikan bahwa tindakan aborsi masih banyak dilakukan, terutama yang disiarkan melalui media masa. Sementara dalam kenyataannya hal ini sangat bertentangan dengan hakikat kehidupan manusia. Realitas zaman ini yang terkenal dengan kemodernannya menghadirkan suatu polemik yang kompleks dan rumit. Kejahatan terhadap kehidupan itu sendiri masih menjadi sajian berita yang tak pernah berakhir. Amat sangat disayangkan di mana-mana tindakan aborsi yang dipandang melanggar kehidupan masih tetap saja terjadi. Manusia yang tak berdosa, kecil dan tak berdaya itu diakhiri hidupnya dengan aneka alasan dasar kehidupan yang kurang seimbang. Ingat bahwa “Allah tidak menciptakan kematian dan tidak bergembira atas kebinasaan apa yang hidup” (Keb 1:13).
       Hampir pasti alasan-alasan terhadap tindakan ini sangat bervariatif. Tentu ada banyak alasan yang dilihat, tapi apakah martabat dan hak hidup manusia diposisikan di bawah alasan-alasan ekonomi, misalnya? Permasalahan mengenai aborsi dalam Gereja sudah ada sejak awal mula Gereja. Dari zaman Gereja Purba sampai sekarang, masalah aborsi menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Di tengah situasi dunia yang semakin kompleks ini, banyak desakan yang ditujukan kepada Gereja untuk mengendurkan ajaran-ajaran moralnya dan memperbolehkan aborsi. Nah, dengan adanya desakan seperti ini apakah Gereja berani mengambil sikap demikian? Ini merupakan pergulatan yang besar bagi Gereja juga di dunia dewasa ini. Refleksi-refleksi Gereja dengan sendirinya akan menunjukkan dimanakah posisi Gereja dalam mengatasi persoalan kaum pro pilihan. Pada bagian akhir tulisan ini, akan dilihat refleksi dan relvansinya bagi dunia dewasa ini.
Sekilas Sejarah dan Istilah Aborsi
Dalam kenyataan dunia yang makin kompleks ini jutaan orang melakukan aborsi tiap tahun di dunia. Meskipun dalam segala budaya orang mampu menilai, mencintai dan melindungi anak-anak mereka, dan kepedulian ini sudah diakui sebagai persoalan yang sangat mendasar dari etika tanggungjawab.[1] Sebuah studi budaya kuno menunjukkan bahwa motivasi untuk aborsi dalam budaya-budaya ini ada bermacam-macam, termasuk bukan hanya alasan pragmatis, tetapi juga alasan religius dan sebagaimana kekerasan karena dominasi kaum pria.[2] Demikian juga dalam dunia Yunani-Romawi di mana pada saat kebangkitan Kristiani, aborsi dan pembunuhan bayi terjadi tanpa rasa cinta dan tanggung jawab. Akibat logis dari kejahatan ini yaitu bahwa pada beberapa tempat menimbulkan tingkat perkembangan dan pertumbuhan manusia yang sangat rendah. Budaya seperti ini tidak bisa secara umum dikatakan bahwa aborsi dan pembunuhan bayi tidak dapat dibedakan secara tegas.
Kongregasi Suci Ajaran Iman dalam dokumen tentang aborsi art. 6 secara gamblang menunjukkan penolakan sedari awal mulanya mengenai tindakan aborsi:
Tradisi Gereja selalu mengajarkan bahwa hidup manusia harus dilindungi baik sejak awal maupun dalam aneka tahap proses perkembangannya. Sejak berabad-abad pertama, ketika melawan moral orang-orang Yunani dan Romawi Gereja secara mendesak menandaskan bahwa dalam hal ini moral kaum kristiani amat berbeda dengan moral itu. Dalam Didache dengan jelas dinyatakan: “jangan membunuh buah rahimmu dengan aborsi dan jangan membunuh anakmu yang sudah lahir.” Athenagoras dengan cernat mencatat bahwa kaum kristiani menganggap para perempuan yang memakai obat-obatan untuk mengeluarkan janin, sebagai pembunuh…Tertulianus menegaskan prinsip hakiki: “mencegah kelahiran adalah antisipasi pembunuhan;…apa yang akan menjadi, sudah manusia; seluruh buah sudah ada dalam benih.
Yesus memberi sebuah interpretasi tersendiri yang menekankan bahwa Allah memelihara setiap orang, tanpa mempedulikan apakah dia penuh dosa, bodoh, atau najis. Yesus mewartakan kabar gembira tentang kasih Allah kepada “anak-anak kecil,” orang-orang buangan, termasuk anak-anak yang tak berdaya, di mana Dia menyatakan akan memberikan hormat khusus kepada setiap orang dalam Kerajaan Bapa-Nya (bdk. Mrk 9:33-37).
Istilah aborsi itu berasal dari kata bahasa Latin Aboriri yang berarti proses pengeluaran hasil konsepsi dari uterus secara prematur pada usia janin itu belum bisa hidup di luar kandungan.[3] Aborsi berarti membunuh fetus. Aborsi mungkin terjadi secara spontan, di mana itu biasa di sebut dengan miscarriage (keguguran), atau mungkin sebab kesengajaan yang disebut induced abortion atau procured abortion. Induced abortion dan procured abortion (atau abortus provocatus) merupakan pembunuhan yang disengaja dan langsung diarahkan kepada manusia pada tahap awal hidupnya, antara saat pembuahan sampai dengan kelahirannya, entah dengan cara apapun.[4]
Teologi Gereja Katolik juga membedakan procured abortion yaitu secara langsung dan tidak langsung. Aborsi langsung adalah sebuah pembunuhan dan langsung terarah kepada upaya untuk mengakhiri kehamilan dengan merusak fetus. Aborsi tidak langsung adalah sebuah kasus di mana ibu memakai pengobatan tanpa ada maksud (intensi) membunuh. Namun. Dalam kasus tertentu ada istilah keguguran (miscarriage, spontaneous abortion) yang merupakan aborsi yang terjadi secara alami. Aborsi ini terjadi tanpa campur tangan manusia, tetapi secara alamiah oleh karena berbagai sebab.[5] Kasus ini secara moral tidak bersalah, karena ini tidak ada hubungannya dengan tindakan manusia.
Aborsi dalam kasus tertentu memang menjadi persoalan yang menimbulkan tanda tanya dan kebingungan. Berikut ini akan diulas soal aborsi dalam kasus tertentu itu.
1.    Aborsi Terapeutik
Kalau kita berbicara mengenai istilah, kata terapeutik sesungguhnya berarti terapi. Terapi adalah proses pengobatan penyakit. Bagaimana terapi itu dihubungkan dengan aborsi itu sendiri? Seorang ibu menderita kanker dalam keadaan hamil, kemudian memutuskan untuk melakukan aborsi. Tindakan aborsi ini tidak bisa disebut terapeutik, alasannya karena tindakan aborsi ini tidak bermaksud menyembuhkan. Logika praktisnya bahwa aborsi bukan jalan untuk menyembuhkan kanker. Kanker adalah sejenis sakit tersendiri dan tidak ada kaitannya dengan kehidupan bayi dalam kandungan. Kanker akan tetap tidak sembuh sekali pun aborsi dilakukan.
Jadi, tindakan itu bukanlah suatu campur tangan medis terapeutis untuk kesembuhan, tetapi suatu campur tangan atas sesuatu yang sehat (janinnya) demi menghindarkan ibu dari risiko kematian. Dalam situasi itu penyakit ibu tidak disentuh. Oleh karena itu, aborsi terapeutis ini menimbulkan kebingungan besar. Di sini tidak ada indikasi menyembuhkan, tetapi justru sangat berdampak pada janinnya. Terapi itu sendiri berciri ragu-ragu.
2.    Indikasi Medis
Aborsi dengan indikasi medis adalah aborsi yang dilakukan oleh karena adanya tanda atau keadaan yang menunjukkan kelangsungan kehamilan akan menyebabkan kerusakan serius pada kesehatan ibu yang susah disembuhkan atau mengakibatkan kematian.[6]
Ada beberapa pertimbangan moral terhadap kasus ini, di mana kita tidak boleh menghukum orang yang tidak bersalah, dengan memperalat orang lain. Dampak dari kemajuan teknologi kedokteran orang dapat melakukan apa saja, karena itu perlu ada usaha yang secara obyektif menunjukkan tindakan ini menjadi satu-satunya cara untuk menjaga kesehatan ibu. Dalam pertimbangan lain bahwa indikasi sosial dan ekonomi tidak bisa menghalalkan aborsi, hidup fisik bagi seseorang merupakan dasar pertama dari yang lain, martabat hidup manusia ada bersama dengan adanya manusia (bukan penampilan badaniah baik atau cacat). Ada suatu situasi konflik di mana keputusan medis hanya bisa menyelamatkan nyawa anaknya. Maka, pertimbangan moral membantu dalam menjawab setiap persoalan medis. Apapun yang menjadi pertimbangan dalam indikasi medis itu tidak berarti keselamatan dipertaruhkan.
3.    Demi Keselamatan Ibu
       Kasus ini termasuk dalam bagian yang sangat kompleks terutama pilihan antara nyawa ibu atau anak. Kasus ini secara medis memang sudah semakin jarang terjadi tetapi dalam keadaan tertentu bisa saja terjadi.[7]
Mengambil sebuah pilihan antara menyelamatkan satu atau yang lain memang sangat sulit, atau pun bahwa tanpa mengambil keputusan apa-apa hanya membiarkan kehamilan itu terus terjadi. Dalam kondisi seperti ini, kita perlu berpikir lebih jauh dan mendalam. Moralis Katolik, seperti Franz Boeckle, E. Pousset, dan Bernard Haring umumnya menyetujui bahwa dalam situasi macam ini, yang harus dipilih adalah apa yang paling mungkin diselamatkan.[8] Memilih di antara keduanya, atau ibu atau anak yang diselamatkan. Dari pada mati kedua-keduanya, lebih baik kita menyelamatkan yang satu.
       Di sini bukan masalah lebih memilih ibunya dari bayinya atau lebih memilih bayinya dari ibunya, tetapi sebuah pilihan di antara hidup yang dapat diselamatkan dan hidup yang tidak bisa diselamatkan.[9] Gagasan Bernard Haring ini mengantar kita untuk berpikir di mana posisi kaum pro pilihan dan pro kehidupan. Kehidupan tetap terus diperjuangkan. Keadaan tidak selalu diperhitungkan dalam situasi mendukung keselamatan. Sejauh kita dapat merasa itu bisa diselamatkan maka kita harus memperjuangkannya.

Pro Pilihan (Pro Choice) dan Pro Kehidupan (Pro life)
       Fenomena seputar masalah aborsi di banyak negara maju menjadi masalah yang mendapat perhatian besar. Masalah mengenai aborsi itu sendiri banyak pro dan kontranya. Berbagai argumentasi dipakai baik itu untuk membenarkan atau pun melarang aborsi. Hampir pasti bahwa ada orang-orang yang memang memiliki kepentingan dalam menangani kasus-kasus besar semacam ini. Kepentingan dalam artian ini bisa saja untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Sebuah persoalan besar di mana sebagian orang sekarang berupaya untuk mencari apa yang tidak merugikan bagi diri sendiri.
       Menangani masalah aborsi sangat berkaitan dengan profesi dokter dan kaum medis. Secara gamblang bahwa ada tuntutan-tuntutan medis yang mesti mereka pegang dan taati, namun di sisi lain bahwa profesi seperti ini bukan tidak mungkin terselip suatu kepentingan diri mereka. Kepentingan untuk tuntutan ilmiah dan untuk mendapatkan uang. Tuntutan untuk menjalani tugas besar dan mulia seperti itu kadang tersandung oleh kepentingan. Seorang perempuan yang sedang hamil tidak banyak dilihat sebagai sumber regenarasi manusia, tetapi hanyalah sebagai ‘bahan baku’ dari mana ‘produk’nya-si bayi-dilahirkan.[10] Dalam situasi demikian, bukan ibu yang dipandang telah berjasa untuk mengurus bayi tetapi sang dokter.[11] Pernyataan ini sungguh berani untuk dunia saat ini. Kemajuan dalam bidang apapun terutama yang ilmiah bisa menggandakan cara-cara apapun juga. Semua ini merupakan langkah mencapai keuntungan. Sebab rahim perempuan telah direduksi menjadi sebuah wadah yang tidak berdaya, dan kepasifan mereka telah direkayasa seiring dengan ketidaktahuan mereka. Perempuan tanpa tahu dan sadar bahwa di balik sebuah profesionalitas manusia terkadang ada sebuah intensi buruk. Cara seperti ini menjadi jalan untuk tindakan yang tak bermoral seperti aborsi, pembunuhan terhadap bayi yang ada dalam rahim. Bahkan di lain tempat, ada kelompok tertentu yang berupaya dengan dalih emansipasi wanita melegalkan semua yang secara moral itu dilarang. Dasar pemikiran ini tampak sekali dipegang erat oleh kaum pro pilihan. Masalah kemanusiaan masih banyak diimbangi dengan motivasi demi kepentingan.
       Amerika Serikat sendiri tentang masalah aborsi masih terus didengungkan. Ada sebagian orang yang menamakan diri sebagai kelompok pro kehidupan, sedangkan yang lain yakni mereka yang menyetujui legalisasi aborsi menamakan diri sebagai kelompok pro pilihan. Pada prinsipnya bagi kaum pro kehidupan aborsi sesungguhnya selalu merupakan hal yang buruk, namun mereka tetap mengizinkan penyelenggaraan itu dalam lingkup tertentu. Contohnya adalah pada saat hendak menyelamatkan dalam keadaan kritis antara ibu dan bayi.
       Aborsi terapeutis tidak lagi banyak digunakan dewasa ini karena sampai dengan hari ini cara ini belum mencapai titik yang maksimal. Justru sebaliknya bahwa metode terapeutis masih membawa bencana kematian bukan untuk menyelamatkan.
       Kelompok pro kehidupan pada umumnya berpandangan bahwa foetus manusia merupakan makhluk manusia yang tidak bersalah.[12] Dengan pengertian ini kita dapat memahami bahwa makhluk manusia yang tak bersalah tidak pernah boleh dibunuh dalam kondisi apa pun. Meski demikian bahwa ada sekelompok kaum pro menengah yang mengizinkan aborsi dalam kasus tertentu. Sedangkan bagi kelompok pro pilihan cenderung percaya bahwa fetus itu bukan makhluk manusia, atau (seandainya manusia) dia tidak mempunyai hak dan kepentingan dan tidak logis dideskripsikan sebagai tak bersalah ataupun bersalah.[13] Kaum pro pilihan ini secara mutlak mengatakan bahwa fetus itu bukan makhluk manusia. Dasar pemikiran ini yang meyakinkan mereka untuk mendukung adanya legalisasi aborsi dengan rasa tak bersalah. Konsep kepentingan selalu mewarnai usaha para pro pilihan ini untuk mengambil keputusan aborsi. Kaum pro pilihan ini banyak didukung oleh kaum feminis. Bagi mereka keselamatan seorang perempuan jauh lebih penting dan dalam situasi tertentu perempuan mempunyai hak atas dirinya dan anak yang ada dalam kandungannya. Paham inilah yang dianut kuat oleh kaum feminis yang tergabung ke dalam kelompok pro pilihan dalam kasus-kasus aborsi.
       Berbicara tentang masalah aborsi dari dua paham yang berbeda ini berujung pada dasar hak manusia. Berpikir soal hak, kaum pro kehidupan juga beranggapan bahwa hak kaum wanita akan kebebasan prokreasi tidak mutlak.[14] Maka, dalam ruang lingkup tertentu tindakan aborsi bisa saja kurang jahat jika dibandingkan dengan kejahatan pembunuhan yang lainnya. Akan tetapi, kaum pro kehidupan ini sendiri melihat jauh lebih dalam bahwa tak ada kejahatan, entah kurang atau lebihnya, yang secara moral netral. Ini mau menunjukkan bahwa tidak ada alasan kalau secara moral membenarkan pembunuhan. Akhirnya, aborsi tetap saja tidak benar atau dianggap salah menurut etika moral. Sedangkan bagi kaum pro pilihan bahwa persoalan reproduksi manusia adalah masalah yang serius. Oleh karena itu, hak wanita dalam prokreasi itu mutlak adanya. Tidak dapat dihalangi. Sejauh ini bahwa kelompok pro kehidupan didukung oleh kelompok agamawan, seperti Kristen fundamentalis Amerika, Katolik Roma, dan para pemimpin Islam. Di samping itu tentunya juga hal ini didukung oleh kalangan Yahudi dan Buddha.

Alasan Pro Pilihan Melawan Pro Kehidupan
a.    Alasan Pro Pilihan
Di benua Eropa terutama Inggris dan benua Amerika, pandangan yang biasa dari pengajar moral adalah bahwa menghancurkan fetus itu tidak apa-apa. Tentu ini suatu pandangan yang sangat mengerikan bagi kita yang masih memegang kuat argumentasi pro kehidupan. Pemikiran filsafat benar-benar sangat memengaruhi pemikiran dunia barat pada umumnya. Di kalangan para fiolosof barat melegitimasi pro pilihan karena mereka yakin kehidupan manusia pada dirinya tidak mempunyai kekhususan atau karena mereka berpikir fetus manusia tidak mempunyai hak dan kepentingan untuk dirinya.
       Beberapa profesor Amerika yang mendukung kaum pro pilihan ini, di antaranya Joel Feinberg dan Michael Tooley.[15] Kedua orang ini hidup dalam tahun yang berbeda tapi pemikiran kedua orang ini mendukung apa yang diperjuangkan oleh kaum pro pilihan.
       Feinberg setuju bahwa fetus tidak boleh dicederai, tetapi ia merumuskan cedera sebagai perintang atas kepentingan dan fetus tidak mempunyai kepentingan yang bisa dirintangi.[16] Proposisi ini tampaknya keliru karena kalau kita kembali pada kenyataan bahwa fetus adalah manusia dan fetus mempunyai kepentingan dan haknya untuk menghindar dari rasa sakit itu. Dan sebagai manusia dia mempunyai kepentingan untuk tidak dicederai oleh siapapun. Meskipun bahwa fetus itu masih dalam perkandungan ibu dan belum selayaknya hidup seperti manusia dewasa tetapi hak dasarnya harus dilindungi. Fetus manusia tentu saja berpotensi untuk menjadi manusia. Jadi konsep Cartesian tentang keberadaan manusia karena kesadaran tidak dapat dengan sendirinya lumrah bagi keberadaan fetus sebab apapun dasar pemikirannya fetus tetap merupakan pribadi manusia yang pada prinsipnya punya kesadaran. Dalam situasi apapun fetus memiliki kesadaran untuk dilindungi dan dihindari dari rasa sakit. Apapun alasan dari kaum pro pilihan tetap saja tidak dapat dibenarkan. Pemahaman Feinberg ini ditantang oleh pandangan ilmuwan yang menyatakan bahwa fetus dapat merasa sakit. Munculnya rasa sakit itu setelah adanya perkembangan saraf dalam diri fetus sebelum aborsi itu dapat dilakukan.
       Tooley mengedepankan satu argumentasi bahwa hanya makhluk-makhluk yang punya keinginan untuk tetap bereksistensi yang mempunyai kepentingan.[17] Ukuran mengenai sesuatu dikatakan sebagai mahluk hidup itu dilihat dalam konteks kepentingan beradanya atau eksistensinya sebagai yang ada. Akan tetapi, untuk memiliki kepentingan-kepentingan seperti ini diperlukan konsep-konsep seperti jati diri, pengalaman, eksistensi, kehidupan yang lestari.[18] Argumentasi ini dengan gamblang mau menunjukkan bahwa fetus tidak termasuk di dalamnya. Alasannya bahwa fetus tidak memiliki eksistensi, jati diri, pengalaman dan kehidupan yang dapat dilestarikan. Apakah hal ini harus dibenarkan? Kita kembali lagi bahwa fetus pada tahap tertentu dari perkembangannya, dia dapat merasakan sakit.[19] Dari argumentasi ilmuwan seperti di atas tadi bahwa fetus itu dapat merasa sakit, dengan demikian rasa sakit itu menggambarkan keberadaan fetus sebagai makhluk hidup. Setiap pengalaman apapun pada manusia merupakan gambaran akan keberadaanya, termasuk dalam hal ini adalah fetus sendiri. Lagi-lagi bahwa premis Tooley tidak bisa diterima. Kita tidak dapat mengelak suatu fakta kalau fetus atau bayi yang baru lahir memperlihatkan perilaku mereka bahwa mereka menderita rasa sakit dan ingin menghindarinya.
       Proposisi dari kedua orang di atas sejauh ini berarti tidak dapat dibenarkan. Sejauh bahwa mereka hanya mengedepankan kepentingan dan hasrat tertentu, pandangan mereka tetap bertolak belakang dengan fakta. Hidup manusia tidak dipilih atas kehendak dan kepentingan hasrat egoisme manusia. Dalam kaitan dengan ini bahwa pemikiran filsafat tidak dapat memalingkan fakta yang benar mengenai awal hidup manusia. Ronald Dworkin, dalam Life’s Dominion: An Argument about abortion, Euthanasia and Individual Freedom, menyatakan dua hal ini: pertama, kehidupan manusia termasuk embrio, itu suci; kedua, setiap wanita mempunyai hak mutlak untuk permintaan aborsi.[20] Kedua pernyataan ini sama-sama bertolak belakang satu sama lain. Dworkin dalam hal ini gagal dalam menempatkan proposisinya. Kalau memang fetus embrio itu suci dan sudah dapat digolongkan dalam kehidupan sebagai manusia, mengapa harus ada pernyataan kedua mendukung perempuan atas hak mutlaknya melakukan aborsi. Argumentasi ini tidak dapat diterima oleh karena dari pernyataan pertama itu sudah kontradiksi dengan pernyataan kedua.
Pro Kehidupan
Kelompok pro kehidupan adalah mereka yang berpandangan kebalikan dari kaum pro pilihan. Kelompok ini juga sama ekstrimnya dengan kelompok pro pilihan. Kaum pro kehidupan umumnya didukung oleh kelompok agamawan. mereka cenderung mempertahankan kehidupan daripada melakukan tindakan aborsi atas fetus.
Kelompok pro kehidupan menekankan hak fetus (janin) untuk hidup. Bagi mereka, mengaborsi fetus atau janin sama dengan pembunuhan.[21] Berkaitan dengan hal itu, kita akan melihat sejauh mana kelompok pro kehidupan akan menemukan dan mempertahankan argumentasi yang jelas tentang keberadaan fetus. Fetus manusia adalah fetus manusia dan bukan fetus kuda, misalnya. Karena dia merupakan fetus manusia maka dia memiliki potensialitas untuk berubah menjadi anak manusia, dan tidak mempunyai kemungkinan apapun untuk menjadi seekor kuda. Tidak ada potensi yang bisa berubah menjadi yang lain. Dengan demikian, fetus manusia adalah entitas manusiawi atau sejenis itu. Gagasan seperti ini sangat kental dipakai oleh kaum pro kehidupan untuk mendukung kehidupan fetus itu sendiri. Sehingga bagi mereka tindakan pembunuhan terhadap fetus itu melanggar dan secara moral itu dilarang.
Anak yang baru lahir adalah khas manusia secara genetis, baik dalam organ-organ fisiknya, badannya dan seluruh perilakunya.[22] Tidak akan ada kemungkinan lain bagi fetus manusia tersebut selain menjadi adanya sebagai manusia. Karena secara genetis fetus sudah tergolong dalam jenis manusia maka yang akan terjadi dalam kelahiran adalah manusia. Fetus mempunyai karakteristik genetis manusia, potensi-potensi manusia, dan segala sifat lainnya. Argumentasi semacam inilah yang dipakai oleh kaum pro kehidupan di mana mereka tetap mempertahankan supaya fetus itu dibiarkan hidup. Karena itu, mereka tetap menolak dengan adanya tindakan aborsi dalam konteks apapun. Meskipun kaum pro pilihan mempertentangkan bahwa fetus pada tahap tertentu belum dapat hidup mandiri, dan masih menjadi bagian dari tubuh ibunya. Maka ada kecenderungan gagasan ini mendukung kaum pro pilihan untuk membunuh foetus. Namun, argumentasi ini ditentang sebab tidak ada dasar ilmiah untuk memikirkan dan membuktikan bahwa fetus itu merupakan bagian dari tubuh ibunya.
Orang-orang Kristen pendukung kehidupan, khususnya dari kalangan Gereja Katolik, cenderung mengambil pandangan yang dalam arti tertentu sejajar dengan kaum pasifis total. Sebab bagi kaum pasifis total perang itu selalu salah, apa pun lingkungannya. Bagi kaum pro kehidupan, aborsi selalu salah, apapun lingkungannya. Pro kehiduapn menentang alasan yang hanya untuk keselamatan kehidupan ibu. Jika seorang individu semata-mata hanya berpikir mengenai “manfaat atau kegunaan”, dia akan sampai kepada titik di mana dia membunuh kasih dengan membunuh hasil dari kasih itu.[23] Kebudayaan di mana yang terutama adalah kegunaan, maka buah itu dalam arti tertentu akan menjadi buah yang terkutuk.
Argumentasi Gereja Menentang Pro Pilihan
     Argumentasi Gereja lebih pada penolakan terhadap tindakan aborsi dan kedudukan kaum pro pilihan. Gagasan-gagasan yang diutarakan pada bagian berikut ini sebenarnya sebuah tanggapan besar Gereja atas aborsi itu sendiri dan sekaligus secara eksplisit menentang kaum pro pilihan. Karena antara gagasan aborsi itu sendiri masih didukung oleh kaum pro pilihan.
1.    Penolakan Orang Kristiani: Kaum Pro Kehidupan
Gereja Kristen, dihadapkan dengan praktik Yunani dan Romawi soal pembunuhan bayi dan aborsi. Kebiasaan tersebut dikritisi dalam terang ajaran Yesus mengenai martabat anak. Lukas, melalui tulisannya bahwa dalam narasi masa itu didasarkan pada sumber-sumber Yahudi-Kristen, mengambil tema Perjanjian Lama yakni panggilan para nabi dan gambaran panggilan Yohanes pembaptis oleh Roh Kudus dalam rahim Elizabeth.
Perlu ditekankan bahwa ketidaksepakatan tentang bagaimana menangani kasus-kasus konflik yang langka tidak meniadakan perjanjian dasar di antara orang-orang Yahudi dan semua gereja-gereja Kristen bahwa (1) aborsi bertentangan dengan kehendak Allah, yang menciptakan setiap manusia, dan (2 ) jika aborsi yang pernah diizinkan dalam situasi konflik (ditolak tidak hanya oleh umat Katolik, tetapi juga orang Protestan), dapat dibenarkan hanya dengan alasan yang paling serius.[24] Hal ini seharusnya menjadi dasar bagi orang agama Yahudi, Protestan, Ortodoks, dan Katolik untuk bekerja sama untuk mengurangi jumlah besar aborsi.
Mengikuti tradisi gereja awali, Konsili Vatikan II mengutuk aborsi dan pembunuhan bayi sebagai "kejahatan yang tak terkatakan." Ajaran ini dibuat lebih jelas dalam dokumen khusus tentang Aborsi dan dalam dokumen lainnya. Akhirnya pada Injil Kehidupan, Yohanes Paulus II menerangkan dengan lugas bahwa aborsi adalah doktrin yang berkaitan dengan iman Kristen dan tidak pernah dapat diubah:
Oleh karena itu, atas kewibawaan yang oleh Kristus dilimpahkan kepada Petrus dan para Penggantinya, dan dalam persekutuan dengan para Uskup Gereja Katolik-yang pada berbagai kesempatan telah disebutkan, kendati terpencar di seluruh dunia, seia sekata telah menyatakan persetujuan mereka terhadap ajaran itu,- kami menyatakan bahwa pengguguran langsung yakni, pengguguran yang dikehendaki sebagai tujuan atau sebagai sarana, selalu merupakan dosa moral yang berat; sebab itu pembunuhan manusia tidak bersalah yang disengaja. Ajaran itu berdasarkan hukum kodrati dari Sabda Allah yang termaktub, disalurkan oleh Tradisi Gereja, dan diajarkan oleh Magisterium biasa dan universal.  Tiada situasi, tiada tujuan, tiada hukum apapun dapat pernah akan menghalalkan tindakan yang intrinsik tidak halal, karena bertentangan dengan Hukum Allah yang tertera dalam setiap hati manusia, dapat ditangkap oleh akal budi sendiri, dan dimaklumkan oleh Gereja.
Dunia saat ini syarat dengan pengalaman menolak, meremehkan sesama manusia apalagi mereka yang kecil dan tak berdaya. Dalam ensiklik Evangelium Vitae, Paus Yohanes Paulus II meringkas situasi macam ini dengan istilah Budaya Kematian (Culture of Death).[25] Realitas seperti ini memberi implikasi yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Budaya Kematian sangat bertolak belakang dengan ajaran iman Kristiani. Sehingga ensiklik Evangelium Vitae kembali mengingatkan kita akan tugas panggilan hidup sebagai orang Kristiani:
Bersama-sama kita sadari kewajiban kita mewartakan Injil Kehidupan, merayakannya dalam Liturgi dan seluruh hidup kita, dan melayaninya melalui pelbagai program dan struktur yang mendukung dan memajukan hidup.[26]
2.    Yohanes Paulus II melalui Evangelium Vitae
Pertama-tama kita dapat melihat bahwa Paus Yohanes Paulus II memiliki perhatian yang sangat besar dalam kasus kehidupan manusia. Dari itu banyak sekali ungkapan keprihatinannya yang tertulis melalui dokumen-dokumen resmi seperti Evangelium Vitae. Ensiklik Evangelium Vitae muncul dalam perkembangan zaman modern ini yang secara khusus berbicara seputar etika hidup manusia sampai pada kematiannya. Ensiklik Evangelium Vitae Yohanes Paulus II memiliki tujuannya dengan menegaskan bahwa:
Ensiklik ini…dimaksudkan sebagai penegasan ulang yang saksama dan tegas mengenai nilai hidup manusiawi yang tidak dapat diganggu gugat, sekaligus suatu seruan yang mendesak, ditujukan kepada tiap orang demi nama Allah: hormatilah, lindungilah, cintailah dan layanilah kehidupan, tiap hidup manusiawi!...[27]
Penegasan ini merupakan suatu penegasan yang sangat serius. Gereja dalam hal ini sangat menghargai hidup manusia dan seluruh proses kehidupannya. Menghadapi situasi zaman globalisasi, Gereja semakin kencang dalam menegaskan banyak hal yang sangat rentan dengan kehidupan manusia itu sendiri. Praktik aborsi yang didukung oleh kaum pro pilihan tentu menjadi perhatian besar Gereja. Kejadian dan peristiwa pembunuhan dan aborsi besar-besaran terjadi di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, membawa bencana besar bagi etika manusia. Maka, penegasan ini sangat mendesak kelompok pro pilihan yang melegalisasikan tindakan aborsi.
Gereja melalui ensiklik ini serius menentang apa yang telah menjadi pandangan kaum pro pilihan. Gereja secara khusus melawan apapun yang benar-benar menunjukkan tindakan pencederaan atau pembunuhan atas manusia. Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae no. 58 menegaskan:
Di antara semua kejahatan yang dapat dijalankan melawan hidup, pengguguran yang disengaja…Konsili Vatikan II melukiskan pengguguran, seperti juga pembunuhan kanak-kanak, sebagai kejahatan yang durhaka.[28]
Pernyataan ini dengan jelas menentang apa yang dimaklumkan oleh kaum pro pilihan tentang aborsi. Di tengah isu-isu yang lain pula Gereja tetap mengedepankan nilai hidup manusia sendiri. Melalui ensiklik ini sesungguhnya banyak hal yang mau ditunjukkan dalam kasus sekitar hidup manusia. Hidup manusia bukan dalam urusan kepentingan orang sepihak, seperti apa yang menjadi anggapan kaum pro pilihan tentang hak bagi seorang perempuan dan sebagainya.
Pengguguran atas buah kandungan tampak menjadi sebuah peristiwa tragis dan menyedihkan, karena orang lebih melindungi nilai-nilai tertentu, seperti kesehatan dan kehidupan yang layak, atau alasan hak seorang perempuan. Akan tetapi, alasan itu betatapun berat dan tragisnya, tidak dapat membenarkan pembunuhan manusia tak bersalah dengan sengaja. Orang semakin tidak mampu membedakan antara yang baik dan jahat, juga bila hak dasar atas hidup dipertaruhkan. Situasi zaman sangat melemahkan kesadaran manusia dalam menilai hidup. Banyak orang lebih memilih untuk keselamatan diri sendiri dan seluruh kebahagiaan dalam hidupnya dari pada menilai perbuatan yang jahat. Sekitar masalah aborsi, kaum pro pilihan hanya mampu mengatasi hal sepele dengan pandangan yang keliru atas proses awal kehidupan manusia. Inilah kejahatan yang terbesar bagi manusia yang bertindak abortif.
Hidup manusia itu keramat dan berharga di mata Allah, termasuk tahap awal sebelum kelahiran.[29] Manusia sudah menjadi milik Allah sejak dalam rahim. Gambaran manusia sebagai milik Allah, Kitab Suci dalam Perjanjian Lama telah melukiskan hal itu dalam diri Yeremia. Dia telah dipilih dan ditentukan Allah sejak dalam rahim ibunya.[30] Jadi, hidup manusia selain berharga tetapi juga karena anugerah Allah. Allah telah menentukan manusia sejak awal mula, termasuk dalam pembuahan.
3.    Refleksi Teologis
Ada banyak refleksi teologis yang bisa disampaikan berkaitan dengan masalah moral aborsi dan pembunuhan bayi. Refleksi teologis ini penting bagi kami untuk menanggapi situasi dunia dewasa ini yang sarat dengan budaya kematian. Saya mengutip Mat. 22:36-40 sebagai langkah dan titik tolak dalam merefleksikan situasi ini. Banyak permasalahan dunia ini yang sering kali mengorbankan orang lain. Sikap cinta terhadap sesama digandakan demi keuntungan diri sendiri. Yesus sendiri sudah menjawab “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (ay. 39). Kita mencintai sesama karena kita menganggap yang lain itu sebagai yang sederajat atau sama dengan diri kita sendiri.  Kesederajatan ini mesti dipahami secara radikal, jika tidak orang akan menyisakan cerita pembatas dan pembeda dirinya dengan sesamanya.[31] Mencintai sesama manusia merupakan hukum penting yang diberikan oleh Yesus. Prinsip dalam mencintai sesama bagi Yesus adalah pada Allah sendiri. Mencintai Allah menjadi landasan bagi jiwa manusia dalam mencintai orang lain. Allah menjadi ukuran cinta manusia. Maka, relasi yang dibangun antara sesame manusia adalah relasi subyek-subyek, dan bukan subyek-obyek.[32] Sesama dalam arti bukan hanya sederajat tapi dia adalah juga subjek seperti diri kita sendiri. Mendukung terciptanya kelanjutan hidup bagi bayi dalam kandungan alasan bagi kita karena dia adalah sesama manusia.
       Penolakan dengan upaya pengguguran dan pembunuhan merupakan jalan yang bertentangan dengan apa yang disabdakan Yesus. “Allah tidak menciptakan kematian dan tidak bergembira atas kebinasaan apa yang hidup” (Keb 1:13). Manusia adalah ciptaan Allah. Paus Paulus VI dalam ensikliknya Humanae Vitae 13 mengutip Paus Yohanes XXIII, mengatakan, “Hidup manusia adalah sesuatu yang sakral, dari sejak permulaannya, ia secara langsung melibatkan tindakan penciptaan oleh Allah.”[33] Karena itu, manusia mempunyai dominasi yang terbatas atas tubuhnya; dominasi berkembangbiak itu ditentukan oleh Allah untuk memberi kehidupan baru, di mana Tuhan adalah sumber dan asalnya.
Akhirnya, manusia memiliki batas-batas dalam hidupnya karena dia adalah ciptaan Allah. hanya Allah yang berhak atas hidup manusia. Kewajiban manusia hanya untuk mencintai dan memperlakukan sesama sebagaimana seharusnya. Manusia tidak punya hak untuk memutuskan hidup manusia lain.
Penutup
            Masalah aborsi sejauh ini merupakan masalah yang sangat kompleks. Kaum pro pilihan tetap mempertentangkan alasan dari Gereja terkait dengan larangan legal sekitar aborsi. Meski demikian, kita dapat merasakan bahwa pertentangan itu terjadi asal demi keselamatan manusia. Gereja lebih mengambil sikap tidak setuju dengan tindakan aborsi yang disetujui kaum pro pilihan. Gereja dengan tegas dan dasar refleksi teologisnya menyatakan bahwa fetus (janin) tetap merupakan manusia yang patut untuk dilahirkan, dirawat, dan dipelihara. Dalam beberapa dekade terakhir ini muncul tanda-tanda yang memberikan hiburan berupa suatu kebangkitan kembali dari suara hati baik di antara kaum intelektual maupun dalam pendapat umum itu sendiri. Ada suatu rasa hormat terhadap kehidupan itu sendiri mulai dari saat dikandung. Gerakan-gerakan pro kehidupan (pro life) mulai tersebar. Ini merupakan ragi pengharapan untuk masa depan keluarga dan segenap umat manusia.


Robby Wirawan
Mahasiswa STFT Widya Sasana
Semester VI


Daftar Pustaka:
Ashley, Benedict M., and Kevin D. O’Rourke. Health Care Ethics: A Theological Analysis. Washington D.C.: Georgetown University Press. 1997.

Bertens, K. Aborsi Sebagai Masalah Etika. Jakarta: Grasindo. 2002.

Kusmaryanto, CB., SCJ. Tolak Aborsi. Yogyakarta: Kanisius. 2005.

Teichman, Jenny. Etika Sosial. Yogyakarta: Kanisius. 1998.

Yustinus dan Wayan Marianta (eds.),. Embrio: Ciptaan Tuhan atau Produk Manusia? Malang: STFT Widya Sasana. 2012.

Vandhana, Shiva dan Maria Mies. Ecofeminism: Perspektif Gerekan Perempuan dan Lingkungan. Yogyakarta: IRE Press. 2005.


Dokumen:
Go, Piet, O. Carm (penterj.). Aborsi: Kongregasi Ajaran Iman.  Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 2005.

Hadiwikirta, J (penterj.). Surat Kepada Keluarga-Keluarga dari Paus Yohanes Paulus II. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1994.

Hardawirjana, R (penterj.). Evangelium Vitae. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1997.

Internet:
http://religionkosayu.files.wordpress.com/2012/11/menghargai-kehidupan-i-stop-aborsi.pdf




[1] Benedict M Ashley and Kevin D. O’Rourke, Health Care Ethics: A Theoloical Analysis, Washington D.C.: Georgetown University Press, 1997,  hlm. 254.
[2] Ibid.
[3] C.B. Kusmaryanto, SCJ, Tolak Aborsi, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hlm. 15.
[4] Ibid., hlm. 15-16.
[5] Ibid., hlm 16.
[6] Ibid., hlm. 121.
[7] Ibid., hlm. 124-125.
[8] Ibid., hlm. 125.
[9] Ibid.
[10] Vandhana Shiva dan Maria Mies, Ecofeminism: Perspektif Gerekan Perempuan dan Lingkungan, Yogyakarta: IRE Press, 2005, hlm. 33.
[11] Ibid.
[12] Jenny Teichman, Etika Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm. 104.
[13] Ibid.
[14] Ibid., hlm. 104.
[15] Ibid., hlm. 109.
[16] Ibid.
[17] Ibid., hlm 111.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20]  Ibid., hlm. 109.
[21] K. Bertens, Aborsi Sebagai Masalah Etika, Jakarta: Grasindo, 2002, hlm. 30.
[22] Ibid., hlm. 114.
[23] Paus Yohanes Paulus II. Surat Kepada Keluarga-keluarga. Art. 21.
[24] Benedict M. Ashley, dan Kevin D. O’Rourke., Op.Cit., hlm. 256.
[25] Kusmaryanto, Op. Cit., hlm. 138.
[26] Evangelium vitae, art. 79.
[27] Evangelium Vitae, no. 5.
[28] Evangelium Vitae, no. 58.
[29] Evangelum Vitae, art. 61.
[30] Bdk Yer 1:4-5
[31] Yustinus dan Wayan Marianta (eds.), Embrio: Ciptaan Tuhan atau Produk Manusia?, Malang: STFT Widya Sasana, 2012, hlm. 135.
[32] ibid
[33] http://religionkosayu.files.wordpress.com/2012/11/menghargai-kehidupan-i-stop-aborsi.pdf