ABORSI : PAHAM KEBEBASAN
KAUM PRO PILIHAN
DAN
TANGGAPAN REFLEKTIF GEREJA
Pendahuluan
Masalah aborsi sampai hari ini masih
hangat dibicarakan dan menarik perhatian setiap orang. Siapa pun di antara kita
sangat meyakini bahwa tindakan aborsi merupakan salah satu tindakan kejahatan
atas kehidupan atau kemanusiaan. Betapa mengerikan bahwa tindakan aborsi masih
banyak dilakukan, terutama yang disiarkan melalui media masa. Sementara dalam
kenyataannya hal ini sangat bertentangan dengan hakikat kehidupan manusia.
Realitas zaman ini yang terkenal dengan kemodernannya menghadirkan suatu
polemik yang kompleks dan rumit. Kejahatan terhadap kehidupan itu sendiri masih
menjadi sajian berita yang tak pernah berakhir. Amat sangat disayangkan di
mana-mana tindakan aborsi yang dipandang melanggar kehidupan masih tetap saja
terjadi. Manusia yang tak berdosa, kecil dan tak berdaya itu diakhiri hidupnya
dengan aneka alasan dasar kehidupan yang kurang seimbang. Ingat bahwa “Allah
tidak menciptakan kematian dan tidak bergembira atas kebinasaan apa yang hidup”
(Keb 1:13).
Hampir pasti alasan-alasan terhadap
tindakan ini sangat bervariatif. Tentu ada banyak alasan yang dilihat, tapi
apakah martabat dan hak hidup manusia diposisikan di bawah alasan-alasan
ekonomi, misalnya? Permasalahan mengenai aborsi dalam Gereja sudah ada sejak
awal mula Gereja. Dari zaman Gereja Purba sampai sekarang, masalah aborsi
menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Di tengah situasi dunia yang semakin
kompleks ini, banyak desakan yang ditujukan kepada Gereja untuk mengendurkan
ajaran-ajaran moralnya dan memperbolehkan aborsi. Nah, dengan adanya desakan
seperti ini apakah Gereja berani mengambil sikap demikian? Ini merupakan
pergulatan yang besar bagi Gereja juga di dunia dewasa ini. Refleksi-refleksi Gereja
dengan sendirinya akan menunjukkan dimanakah posisi Gereja dalam mengatasi
persoalan kaum pro pilihan. Pada bagian akhir tulisan ini, akan dilihat
refleksi dan relvansinya bagi dunia dewasa ini.
Sekilas
Sejarah dan Istilah Aborsi
Dalam
kenyataan dunia yang makin kompleks ini jutaan orang melakukan aborsi tiap
tahun di dunia. Meskipun dalam segala budaya orang mampu menilai, mencintai dan
melindungi anak-anak mereka, dan kepedulian ini sudah diakui sebagai persoalan
yang sangat mendasar dari etika tanggungjawab.
Sebuah studi budaya kuno menunjukkan bahwa motivasi untuk aborsi dalam
budaya-budaya ini ada bermacam-macam, termasuk bukan hanya
alasan pragmatis, tetapi juga alasan religius dan sebagaimana kekerasan karena
dominasi kaum pria.
Demikian juga dalam dunia Yunani-Romawi di mana pada saat kebangkitan
Kristiani, aborsi dan pembunuhan bayi terjadi tanpa rasa cinta dan tanggung
jawab. Akibat logis dari kejahatan ini yaitu bahwa pada beberapa tempat
menimbulkan tingkat perkembangan dan pertumbuhan manusia yang sangat rendah.
Budaya seperti ini tidak bisa secara umum dikatakan bahwa aborsi dan pembunuhan
bayi tidak dapat dibedakan secara tegas.
Kongregasi
Suci Ajaran Iman dalam dokumen tentang aborsi art. 6 secara gamblang
menunjukkan penolakan sedari awal mulanya mengenai tindakan aborsi:
Tradisi
Gereja selalu mengajarkan bahwa hidup manusia harus dilindungi baik sejak awal
maupun dalam aneka tahap proses perkembangannya. Sejak berabad-abad pertama,
ketika melawan moral orang-orang Yunani dan Romawi Gereja secara mendesak
menandaskan bahwa dalam hal ini moral kaum kristiani amat berbeda dengan moral
itu. Dalam Didache dengan jelas dinyatakan: “jangan membunuh buah rahimmu
dengan aborsi dan jangan membunuh anakmu yang sudah lahir.” Athenagoras dengan
cernat mencatat bahwa kaum kristiani menganggap para perempuan yang memakai
obat-obatan untuk mengeluarkan janin, sebagai pembunuh…Tertulianus menegaskan
prinsip hakiki: “mencegah kelahiran adalah antisipasi pembunuhan;…apa yang akan
menjadi, sudah manusia; seluruh buah sudah ada dalam benih.
Yesus
memberi sebuah interpretasi tersendiri yang menekankan bahwa Allah memelihara
setiap orang, tanpa mempedulikan apakah dia penuh dosa, bodoh, atau najis.
Yesus mewartakan kabar gembira tentang kasih Allah kepada “anak-anak kecil,”
orang-orang buangan, termasuk anak-anak yang tak berdaya, di mana Dia
menyatakan akan memberikan hormat khusus kepada setiap orang dalam Kerajaan
Bapa-Nya (bdk. Mrk 9:33-37).
Istilah
aborsi itu berasal dari kata bahasa Latin Aboriri yang berarti proses
pengeluaran hasil konsepsi dari uterus secara prematur pada usia janin itu
belum bisa hidup di luar kandungan.
Aborsi berarti membunuh fetus. Aborsi mungkin terjadi secara spontan, di mana
itu biasa di sebut dengan miscarriage (keguguran), atau mungkin sebab
kesengajaan yang disebut induced abortion atau procured abortion.
Induced abortion dan procured abortion (atau abortus
provocatus) merupakan pembunuhan yang disengaja dan langsung diarahkan
kepada manusia pada tahap awal hidupnya, antara saat pembuahan sampai dengan
kelahirannya, entah dengan cara apapun.
Teologi
Gereja Katolik juga membedakan procured abortion yaitu secara langsung
dan tidak langsung. Aborsi langsung adalah sebuah pembunuhan dan langsung
terarah kepada upaya untuk mengakhiri kehamilan dengan merusak fetus. Aborsi
tidak langsung adalah sebuah kasus di mana ibu memakai pengobatan tanpa ada
maksud (intensi) membunuh. Namun. Dalam kasus tertentu ada istilah keguguran (miscarriage,
spontaneous abortion) yang merupakan aborsi yang terjadi secara alami.
Aborsi ini terjadi tanpa campur tangan manusia, tetapi secara alamiah oleh
karena berbagai sebab.
Kasus ini secara moral tidak bersalah, karena ini tidak ada hubungannya dengan
tindakan manusia.
Aborsi
dalam kasus tertentu memang menjadi persoalan yang menimbulkan tanda tanya dan
kebingungan. Berikut ini akan diulas soal aborsi dalam kasus tertentu itu.
1.
Aborsi Terapeutik
Kalau kita berbicara mengenai istilah,
kata terapeutik sesungguhnya berarti terapi. Terapi adalah proses pengobatan
penyakit. Bagaimana terapi itu dihubungkan dengan aborsi itu sendiri? Seorang
ibu menderita kanker dalam keadaan hamil, kemudian memutuskan untuk melakukan
aborsi. Tindakan aborsi ini tidak bisa disebut terapeutik, alasannya karena
tindakan aborsi ini tidak bermaksud menyembuhkan. Logika praktisnya bahwa
aborsi bukan jalan untuk menyembuhkan kanker. Kanker adalah sejenis sakit
tersendiri dan tidak ada kaitannya dengan kehidupan bayi dalam kandungan.
Kanker akan tetap tidak sembuh sekali pun aborsi dilakukan.
Jadi, tindakan itu bukanlah suatu campur
tangan medis terapeutis untuk kesembuhan, tetapi suatu campur tangan atas
sesuatu yang sehat (janinnya) demi menghindarkan ibu dari risiko kematian.
Dalam situasi itu penyakit ibu tidak disentuh. Oleh karena itu, aborsi
terapeutis ini menimbulkan kebingungan besar. Di sini tidak ada indikasi
menyembuhkan, tetapi justru sangat berdampak pada janinnya. Terapi itu sendiri
berciri ragu-ragu.
2.
Indikasi Medis
Aborsi dengan indikasi medis adalah
aborsi yang dilakukan oleh karena adanya tanda atau keadaan yang menunjukkan
kelangsungan kehamilan akan menyebabkan kerusakan serius pada kesehatan ibu
yang susah disembuhkan atau mengakibatkan kematian.
Ada beberapa pertimbangan moral terhadap
kasus ini, di mana kita tidak boleh menghukum orang yang tidak bersalah, dengan
memperalat orang lain. Dampak dari kemajuan teknologi kedokteran orang dapat
melakukan apa saja, karena itu perlu ada usaha yang secara obyektif menunjukkan
tindakan ini menjadi satu-satunya cara untuk menjaga kesehatan ibu. Dalam
pertimbangan lain bahwa indikasi sosial dan ekonomi tidak bisa menghalalkan
aborsi, hidup fisik bagi seseorang merupakan dasar pertama dari yang lain,
martabat hidup manusia ada bersama dengan adanya manusia (bukan penampilan
badaniah baik atau cacat). Ada suatu situasi konflik di mana keputusan medis
hanya bisa menyelamatkan nyawa anaknya. Maka, pertimbangan moral membantu dalam
menjawab setiap persoalan medis. Apapun yang menjadi pertimbangan dalam
indikasi medis itu tidak berarti keselamatan dipertaruhkan.
3.
Demi Keselamatan Ibu
Kasus
ini termasuk dalam bagian yang sangat kompleks terutama pilihan antara nyawa
ibu atau anak. Kasus ini secara medis memang sudah semakin jarang terjadi
tetapi dalam keadaan tertentu bisa saja terjadi.
Mengambil sebuah pilihan antara
menyelamatkan satu atau yang lain memang sangat sulit, atau pun bahwa tanpa
mengambil keputusan apa-apa hanya membiarkan kehamilan itu terus terjadi. Dalam
kondisi seperti ini, kita perlu berpikir lebih jauh dan mendalam. Moralis
Katolik, seperti Franz Boeckle, E. Pousset, dan Bernard Haring umumnya
menyetujui bahwa dalam situasi macam ini, yang harus dipilih adalah apa yang
paling mungkin diselamatkan.
Memilih di antara keduanya, atau ibu atau anak yang diselamatkan. Dari pada
mati kedua-keduanya, lebih baik kita menyelamatkan yang satu.
Di
sini bukan masalah lebih memilih ibunya dari bayinya atau lebih memilih bayinya
dari ibunya, tetapi sebuah pilihan di antara hidup yang dapat diselamatkan dan
hidup yang tidak bisa diselamatkan.
Gagasan Bernard Haring ini mengantar kita untuk berpikir di mana posisi kaum
pro pilihan dan pro kehidupan. Kehidupan tetap terus diperjuangkan. Keadaan
tidak selalu diperhitungkan dalam situasi mendukung keselamatan. Sejauh kita
dapat merasa itu bisa diselamatkan maka kita harus memperjuangkannya.
Pro Pilihan (Pro Choice) dan Pro Kehidupan (Pro
life)
Fenomena
seputar masalah aborsi di banyak negara maju menjadi masalah yang mendapat
perhatian besar. Masalah mengenai aborsi itu sendiri banyak pro dan kontranya.
Berbagai argumentasi dipakai baik itu untuk membenarkan atau pun melarang
aborsi. Hampir pasti bahwa ada orang-orang yang memang memiliki kepentingan
dalam menangani kasus-kasus besar semacam ini. Kepentingan dalam artian ini
bisa saja untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Sebuah persoalan besar di mana
sebagian orang sekarang berupaya untuk mencari apa yang tidak merugikan bagi
diri sendiri.
Menangani
masalah aborsi sangat berkaitan dengan profesi dokter dan kaum medis. Secara
gamblang bahwa ada tuntutan-tuntutan medis yang mesti mereka pegang dan taati,
namun di sisi lain bahwa profesi seperti ini bukan tidak mungkin terselip suatu
kepentingan diri mereka. Kepentingan untuk tuntutan ilmiah dan untuk
mendapatkan uang. Tuntutan untuk menjalani tugas besar dan mulia seperti itu
kadang tersandung oleh kepentingan. Seorang perempuan yang sedang hamil tidak
banyak dilihat sebagai sumber regenarasi manusia, tetapi hanyalah sebagai
‘bahan baku’ dari mana ‘produk’nya-si bayi-dilahirkan.
Dalam situasi demikian, bukan ibu yang dipandang telah berjasa untuk mengurus
bayi tetapi sang dokter.
Pernyataan ini sungguh berani untuk dunia saat ini. Kemajuan dalam bidang
apapun terutama yang ilmiah bisa menggandakan cara-cara apapun juga. Semua ini
merupakan langkah mencapai keuntungan. Sebab rahim perempuan telah direduksi
menjadi sebuah wadah yang tidak berdaya, dan kepasifan mereka telah direkayasa
seiring dengan ketidaktahuan mereka. Perempuan tanpa tahu dan sadar bahwa di
balik sebuah profesionalitas manusia terkadang ada sebuah intensi buruk. Cara
seperti ini menjadi jalan untuk tindakan yang tak bermoral seperti aborsi,
pembunuhan terhadap bayi yang ada dalam rahim. Bahkan di lain tempat, ada
kelompok tertentu yang berupaya dengan dalih emansipasi wanita melegalkan semua
yang secara moral itu dilarang. Dasar pemikiran ini tampak sekali dipegang erat
oleh kaum pro pilihan. Masalah kemanusiaan masih banyak diimbangi dengan
motivasi demi kepentingan.
Amerika
Serikat sendiri tentang masalah aborsi masih terus didengungkan. Ada sebagian
orang yang menamakan diri sebagai kelompok pro kehidupan, sedangkan yang lain
yakni mereka yang menyetujui legalisasi aborsi menamakan diri sebagai kelompok
pro pilihan. Pada prinsipnya bagi kaum pro kehidupan aborsi sesungguhnya selalu
merupakan hal yang buruk, namun mereka tetap mengizinkan penyelenggaraan itu
dalam lingkup tertentu. Contohnya adalah pada saat hendak menyelamatkan dalam
keadaan kritis antara ibu dan bayi.
Aborsi
terapeutis tidak lagi banyak digunakan dewasa ini karena sampai dengan hari ini
cara ini belum mencapai titik yang maksimal. Justru sebaliknya bahwa metode
terapeutis masih membawa bencana kematian bukan untuk menyelamatkan.
Kelompok
pro kehidupan pada umumnya berpandangan bahwa foetus manusia merupakan
makhluk manusia yang tidak bersalah.
Dengan pengertian ini kita dapat memahami bahwa makhluk manusia yang tak
bersalah tidak pernah boleh dibunuh dalam kondisi apa pun. Meski demikian bahwa
ada sekelompok kaum pro menengah yang mengizinkan aborsi dalam kasus tertentu.
Sedangkan bagi kelompok pro pilihan cenderung percaya bahwa fetus itu bukan
makhluk manusia, atau (seandainya manusia) dia tidak mempunyai hak dan
kepentingan dan tidak logis dideskripsikan sebagai tak bersalah ataupun
bersalah. Kaum
pro pilihan ini secara mutlak mengatakan bahwa fetus itu bukan makhluk
manusia. Dasar pemikiran ini yang meyakinkan mereka untuk mendukung adanya
legalisasi aborsi dengan rasa tak bersalah. Konsep kepentingan selalu mewarnai
usaha para pro pilihan ini untuk mengambil keputusan aborsi. Kaum pro pilihan
ini banyak didukung oleh kaum feminis. Bagi mereka keselamatan seorang
perempuan jauh lebih penting dan dalam situasi tertentu perempuan mempunyai hak
atas dirinya dan anak yang ada dalam kandungannya. Paham inilah yang dianut
kuat oleh kaum feminis yang tergabung ke dalam kelompok pro pilihan dalam
kasus-kasus aborsi.
Berbicara
tentang masalah aborsi dari dua paham yang berbeda ini berujung pada dasar hak
manusia. Berpikir soal hak, kaum pro kehidupan juga beranggapan bahwa hak kaum
wanita akan kebebasan prokreasi tidak mutlak.
Maka, dalam ruang lingkup tertentu tindakan aborsi bisa saja kurang jahat jika
dibandingkan dengan kejahatan pembunuhan yang lainnya. Akan tetapi, kaum pro
kehidupan ini sendiri melihat jauh lebih dalam bahwa tak ada kejahatan, entah
kurang atau lebihnya, yang secara moral netral. Ini mau menunjukkan bahwa tidak
ada alasan kalau secara moral membenarkan pembunuhan. Akhirnya, aborsi tetap
saja tidak benar atau dianggap salah menurut etika moral. Sedangkan bagi kaum
pro pilihan bahwa persoalan reproduksi manusia
adalah masalah yang serius. Oleh karena itu, hak wanita dalam prokreasi itu
mutlak adanya. Tidak dapat dihalangi. Sejauh ini bahwa kelompok pro kehidupan
didukung oleh kelompok agamawan, seperti Kristen fundamentalis
Amerika, Katolik Roma, dan para pemimpin Islam. Di samping itu tentunya juga
hal ini didukung oleh kalangan Yahudi dan Buddha.
Alasan
Pro Pilihan Melawan Pro Kehidupan
a.
Alasan Pro Pilihan
Di benua Eropa terutama Inggris dan benua Amerika,
pandangan yang biasa dari pengajar moral adalah bahwa menghancurkan fetus itu
tidak apa-apa. Tentu ini suatu pandangan yang sangat mengerikan bagi kita yang
masih memegang kuat argumentasi pro kehidupan. Pemikiran filsafat benar-benar
sangat memengaruhi pemikiran dunia barat pada umumnya. Di kalangan para
fiolosof barat melegitimasi pro pilihan karena mereka yakin kehidupan manusia
pada dirinya tidak mempunyai kekhususan atau karena mereka berpikir fetus
manusia tidak mempunyai hak dan kepentingan untuk dirinya.
Beberapa
profesor Amerika yang mendukung kaum pro pilihan ini, di antaranya Joel
Feinberg dan Michael Tooley.
Kedua orang ini hidup dalam tahun yang berbeda tapi pemikiran kedua orang ini
mendukung apa yang diperjuangkan oleh kaum pro pilihan.
Feinberg
setuju bahwa fetus tidak boleh dicederai, tetapi ia merumuskan cedera sebagai
perintang atas kepentingan dan fetus tidak mempunyai kepentingan yang bisa
dirintangi.
Proposisi ini tampaknya keliru karena kalau kita kembali pada kenyataan bahwa
fetus adalah manusia dan fetus mempunyai kepentingan dan haknya untuk
menghindar dari rasa sakit itu. Dan sebagai manusia dia mempunyai kepentingan
untuk tidak dicederai oleh siapapun. Meskipun bahwa fetus itu masih dalam
perkandungan ibu dan belum selayaknya hidup seperti manusia dewasa tetapi hak
dasarnya harus dilindungi. Fetus manusia tentu saja berpotensi untuk menjadi
manusia. Jadi konsep Cartesian tentang keberadaan manusia karena kesadaran
tidak dapat dengan sendirinya lumrah bagi keberadaan fetus sebab apapun dasar
pemikirannya fetus tetap merupakan pribadi manusia yang pada prinsipnya punya
kesadaran. Dalam situasi apapun fetus memiliki kesadaran untuk dilindungi dan
dihindari dari rasa sakit. Apapun alasan dari kaum pro pilihan tetap saja tidak
dapat dibenarkan. Pemahaman Feinberg ini ditantang oleh pandangan ilmuwan yang
menyatakan bahwa fetus dapat merasa sakit. Munculnya rasa sakit itu setelah
adanya perkembangan saraf dalam diri fetus sebelum aborsi itu dapat
dilakukan.
Tooley
mengedepankan satu argumentasi bahwa hanya makhluk-makhluk
yang punya keinginan untuk tetap bereksistensi yang mempunyai kepentingan.
Ukuran mengenai sesuatu dikatakan sebagai mahluk hidup itu dilihat dalam
konteks kepentingan beradanya atau eksistensinya sebagai yang ada. Akan tetapi,
untuk memiliki kepentingan-kepentingan seperti ini diperlukan konsep-konsep
seperti jati diri, pengalaman, eksistensi, kehidupan yang lestari.
Argumentasi ini dengan gamblang mau menunjukkan bahwa fetus tidak termasuk di dalamnya.
Alasannya bahwa fetus tidak memiliki eksistensi, jati diri, pengalaman dan
kehidupan yang dapat dilestarikan. Apakah hal ini harus dibenarkan? Kita
kembali lagi bahwa fetus pada tahap tertentu dari perkembangannya, dia dapat
merasakan sakit. Dari
argumentasi ilmuwan seperti di atas tadi bahwa fetus itu
dapat merasa sakit, dengan demikian rasa sakit itu menggambarkan keberadaan
fetus sebagai makhluk hidup. Setiap pengalaman apapun pada manusia merupakan
gambaran akan keberadaanya, termasuk dalam hal ini adalah fetus sendiri.
Lagi-lagi bahwa premis Tooley tidak bisa diterima. Kita tidak dapat mengelak
suatu fakta kalau fetus atau bayi yang baru lahir memperlihatkan perilaku
mereka bahwa mereka menderita rasa sakit dan ingin menghindarinya.
Proposisi
dari kedua orang di atas sejauh ini berarti tidak dapat dibenarkan. Sejauh
bahwa mereka hanya mengedepankan kepentingan dan hasrat tertentu, pandangan
mereka tetap bertolak belakang dengan fakta. Hidup manusia tidak dipilih atas
kehendak dan kepentingan hasrat egoisme manusia. Dalam kaitan dengan ini bahwa
pemikiran filsafat tidak dapat memalingkan fakta yang benar mengenai awal hidup
manusia. Ronald Dworkin, dalam Life’s Dominion: An Argument about abortion,
Euthanasia and Individual Freedom, menyatakan dua hal ini: pertama,
kehidupan manusia termasuk embrio, itu suci; kedua, setiap wanita mempunyai hak
mutlak untuk permintaan aborsi.
Kedua pernyataan ini sama-sama bertolak belakang satu sama lain. Dworkin dalam
hal ini gagal dalam menempatkan proposisinya. Kalau memang fetus embrio itu
suci dan sudah dapat digolongkan dalam kehidupan sebagai manusia, mengapa harus
ada pernyataan kedua mendukung perempuan atas hak mutlaknya melakukan aborsi.
Argumentasi ini tidak dapat diterima oleh karena dari pernyataan pertama itu
sudah kontradiksi dengan pernyataan kedua.
Pro Kehidupan
Kelompok pro kehidupan adalah mereka
yang berpandangan kebalikan dari kaum pro pilihan. Kelompok ini juga sama ekstrimnya
dengan kelompok pro pilihan. Kaum pro kehidupan umumnya didukung oleh kelompok
agamawan. mereka cenderung mempertahankan kehidupan daripada
melakukan tindakan aborsi atas fetus.
Kelompok pro kehidupan menekankan hak
fetus (janin) untuk hidup. Bagi mereka, mengaborsi fetus atau janin sama dengan
pembunuhan.
Berkaitan dengan hal itu, kita akan melihat sejauh mana kelompok pro kehidupan
akan menemukan dan mempertahankan argumentasi yang jelas
tentang keberadaan fetus. Fetus manusia adalah fetus manusia dan bukan fetus
kuda, misalnya. Karena dia merupakan fetus manusia maka dia memiliki
potensialitas untuk berubah menjadi anak manusia, dan tidak mempunyai
kemungkinan apapun untuk menjadi seekor kuda. Tidak ada potensi yang bisa
berubah menjadi yang lain. Dengan demikian, fetus manusia adalah entitas
manusiawi atau sejenis itu. Gagasan seperti ini sangat kental dipakai oleh kaum
pro kehidupan untuk mendukung kehidupan fetus itu sendiri. Sehingga bagi mereka
tindakan pembunuhan terhadap fetus itu melanggar dan secara moral itu dilarang.
Anak yang baru lahir adalah khas manusia
secara genetis, baik dalam organ-organ fisiknya, badannya dan seluruh
perilakunya.
Tidak akan ada kemungkinan lain bagi fetus manusia tersebut selain menjadi
adanya sebagai manusia. Karena secara genetis fetus sudah tergolong dalam jenis
manusia maka yang akan terjadi dalam kelahiran adalah manusia. Fetus mempunyai
karakteristik genetis manusia, potensi-potensi manusia, dan segala sifat
lainnya. Argumentasi semacam inilah yang dipakai oleh kaum pro kehidupan di
mana mereka tetap mempertahankan supaya fetus itu dibiarkan hidup. Karena
itu, mereka tetap menolak dengan adanya tindakan aborsi dalam konteks apapun.
Meskipun kaum pro pilihan mempertentangkan bahwa fetus pada tahap tertentu
belum dapat hidup mandiri, dan masih menjadi bagian dari tubuh ibunya. Maka ada
kecenderungan gagasan ini mendukung kaum pro pilihan untuk membunuh foetus.
Namun, argumentasi ini ditentang sebab tidak ada dasar ilmiah untuk memikirkan
dan membuktikan bahwa fetus itu merupakan bagian dari tubuh ibunya.
Orang-orang Kristen pendukung kehidupan,
khususnya dari kalangan Gereja Katolik, cenderung mengambil pandangan yang
dalam arti tertentu sejajar dengan kaum pasifis total. Sebab bagi kaum pasifis
total perang itu selalu salah, apa pun lingkungannya. Bagi kaum pro kehidupan,
aborsi selalu salah, apapun lingkungannya. Pro kehiduapn menentang alasan yang
hanya untuk keselamatan kehidupan ibu. Jika seorang individu semata-mata hanya
berpikir mengenai “manfaat atau kegunaan”, dia akan sampai kepada titik di mana
dia membunuh kasih dengan membunuh hasil dari kasih itu.
Kebudayaan di mana yang terutama adalah kegunaan, maka buah itu dalam arti
tertentu akan menjadi buah yang terkutuk.
Argumentasi
Gereja Menentang Pro Pilihan
Argumentasi Gereja lebih pada
penolakan terhadap tindakan aborsi dan kedudukan kaum pro pilihan.
Gagasan-gagasan yang diutarakan pada bagian berikut ini sebenarnya
sebuah tanggapan besar Gereja atas aborsi itu sendiri dan sekaligus secara
eksplisit menentang kaum pro pilihan. Karena antara gagasan aborsi itu sendiri
masih didukung oleh kaum pro pilihan.
1.
Penolakan Orang Kristiani: Kaum Pro
Kehidupan
Gereja Kristen, dihadapkan dengan praktik Yunani dan
Romawi soal pembunuhan bayi dan aborsi. Kebiasaan tersebut dikritisi dalam
terang ajaran Yesus mengenai martabat anak. Lukas, melalui tulisannya bahwa
dalam narasi masa itu didasarkan pada sumber-sumber Yahudi-Kristen, mengambil
tema Perjanjian Lama yakni panggilan para nabi dan gambaran panggilan Yohanes
pembaptis oleh Roh Kudus dalam rahim Elizabeth.
Perlu ditekankan bahwa ketidaksepakatan tentang
bagaimana menangani kasus-kasus konflik yang langka tidak meniadakan perjanjian
dasar di antara orang-orang Yahudi dan semua gereja-gereja Kristen bahwa (1)
aborsi bertentangan dengan kehendak Allah, yang menciptakan setiap manusia, dan
(2 ) jika aborsi yang pernah diizinkan dalam situasi konflik (ditolak tidak
hanya oleh umat Katolik, tetapi juga orang Protestan), dapat dibenarkan hanya
dengan alasan yang paling serius.
Hal ini seharusnya menjadi dasar bagi orang agama Yahudi, Protestan, Ortodoks,
dan Katolik untuk bekerja sama untuk mengurangi jumlah besar aborsi.
Mengikuti tradisi gereja awali, Konsili Vatikan II
mengutuk aborsi dan pembunuhan bayi sebagai "kejahatan yang tak
terkatakan." Ajaran ini dibuat lebih jelas dalam dokumen khusus tentang
Aborsi dan dalam dokumen lainnya. Akhirnya pada Injil Kehidupan, Yohanes Paulus
II menerangkan dengan lugas bahwa aborsi adalah doktrin yang berkaitan dengan
iman Kristen dan tidak pernah dapat diubah:
Oleh
karena itu, atas kewibawaan yang oleh Kristus dilimpahkan kepada Petrus dan
para Penggantinya, dan dalam persekutuan dengan para Uskup Gereja Katolik-yang
pada berbagai kesempatan telah disebutkan,
kendati terpencar di seluruh dunia, seia sekata telah menyatakan persetujuan
mereka terhadap ajaran itu,- kami menyatakan bahwa pengguguran langsung yakni,
pengguguran yang dikehendaki sebagai tujuan atau
sebagai sarana, selalu merupakan dosa moral
yang berat; sebab itu pembunuhan manusia tidak bersalah yang disengaja. Ajaran
itu berdasarkan hukum kodrati dari Sabda Allah yang termaktub, disalurkan oleh
Tradisi Gereja, dan diajarkan oleh Magisterium biasa dan universal. Tiada situasi, tiada tujuan, tiada hukum
apapun dapat pernah akan menghalalkan tindakan yang intrinsik tidak halal, karena
bertentangan dengan Hukum Allah yang tertera dalam setiap hati manusia,
dapat ditangkap oleh akal budi sendiri, dan dimaklumkan oleh Gereja.
Dunia saat ini syarat dengan pengalaman menolak,
meremehkan sesama manusia apalagi mereka yang kecil dan tak berdaya. Dalam
ensiklik Evangelium Vitae, Paus Yohanes Paulus II meringkas situasi macam ini
dengan istilah Budaya Kematian (Culture of Death).
Realitas seperti ini memberi implikasi yang sangat besar bagi kehidupan
manusia. Budaya Kematian sangat bertolak belakang dengan ajaran iman Kristiani.
Sehingga ensiklik Evangelium Vitae kembali mengingatkan kita akan tugas
panggilan hidup sebagai orang Kristiani:
Bersama-sama
kita sadari kewajiban kita mewartakan Injil Kehidupan, merayakannya dalam
Liturgi dan seluruh hidup kita, dan melayaninya melalui pelbagai program dan
struktur yang mendukung dan memajukan hidup.
2.
Yohanes Paulus II melalui Evangelium
Vitae
Pertama-tama kita dapat melihat bahwa
Paus Yohanes Paulus II memiliki perhatian yang sangat besar dalam kasus
kehidupan manusia. Dari itu banyak sekali ungkapan keprihatinannya yang
tertulis melalui dokumen-dokumen resmi seperti Evangelium Vitae. Ensiklik
Evangelium Vitae muncul dalam perkembangan zaman modern ini yang secara khusus
berbicara seputar etika hidup manusia sampai pada kematiannya. Ensiklik
Evangelium Vitae Yohanes Paulus II memiliki tujuannya dengan menegaskan bahwa:
Ensiklik
ini…dimaksudkan sebagai penegasan ulang yang saksama dan tegas mengenai nilai
hidup manusiawi yang tidak dapat diganggu gugat, sekaligus suatu seruan yang
mendesak, ditujukan kepada tiap orang demi nama Allah: hormatilah, lindungilah,
cintailah dan layanilah kehidupan, tiap hidup manusiawi!...
Penegasan ini merupakan suatu penegasan yang sangat
serius. Gereja dalam hal ini sangat menghargai hidup manusia dan seluruh proses
kehidupannya. Menghadapi situasi zaman globalisasi, Gereja semakin kencang
dalam menegaskan banyak hal yang sangat rentan dengan kehidupan manusia itu
sendiri. Praktik aborsi yang didukung oleh kaum pro pilihan tentu menjadi
perhatian besar Gereja. Kejadian dan peristiwa pembunuhan dan aborsi
besar-besaran terjadi di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, membawa
bencana besar bagi etika manusia. Maka, penegasan ini sangat mendesak kelompok
pro pilihan yang melegalisasikan tindakan aborsi.
Gereja melalui ensiklik ini serius menentang apa
yang telah menjadi pandangan kaum pro pilihan. Gereja secara khusus melawan
apapun yang benar-benar menunjukkan tindakan pencederaan atau pembunuhan atas
manusia. Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae no. 58 menegaskan:
Di
antara semua kejahatan yang dapat dijalankan melawan hidup, pengguguran yang
disengaja…Konsili Vatikan II melukiskan pengguguran, seperti juga pembunuhan
kanak-kanak, sebagai kejahatan yang durhaka.
Pernyataan ini dengan jelas menentang apa yang
dimaklumkan oleh kaum pro pilihan tentang aborsi. Di tengah isu-isu yang lain
pula Gereja tetap mengedepankan nilai hidup manusia sendiri. Melalui ensiklik
ini sesungguhnya banyak hal yang mau ditunjukkan dalam kasus sekitar hidup
manusia. Hidup manusia bukan dalam urusan kepentingan orang sepihak, seperti
apa yang menjadi anggapan kaum pro pilihan tentang hak bagi seorang perempuan
dan sebagainya.
Pengguguran atas buah kandungan tampak menjadi
sebuah peristiwa tragis dan menyedihkan, karena orang lebih melindungi
nilai-nilai tertentu, seperti kesehatan dan kehidupan yang layak, atau alasan
hak seorang perempuan. Akan tetapi, alasan itu betatapun berat dan tragisnya,
tidak dapat membenarkan pembunuhan manusia tak bersalah dengan sengaja. Orang semakin
tidak mampu membedakan antara yang baik dan jahat, juga bila hak dasar atas
hidup dipertaruhkan. Situasi zaman sangat melemahkan kesadaran manusia dalam
menilai hidup. Banyak orang lebih memilih untuk keselamatan diri sendiri dan
seluruh kebahagiaan dalam hidupnya dari pada menilai perbuatan yang jahat.
Sekitar masalah aborsi, kaum pro pilihan hanya mampu mengatasi
hal sepele dengan pandangan yang keliru atas proses awal kehidupan manusia.
Inilah kejahatan yang terbesar bagi manusia yang bertindak abortif.
Hidup manusia itu keramat dan berharga di mata
Allah, termasuk tahap awal sebelum kelahiran.
Manusia sudah menjadi milik Allah sejak dalam rahim. Gambaran manusia sebagai
milik Allah, Kitab Suci dalam Perjanjian Lama telah melukiskan hal itu dalam
diri Yeremia. Dia telah dipilih dan ditentukan Allah sejak dalam rahim ibunya.
Jadi, hidup manusia selain berharga tetapi juga karena anugerah Allah. Allah
telah menentukan manusia sejak awal mula, termasuk dalam pembuahan.
3.
Refleksi Teologis
Ada banyak refleksi teologis yang bisa
disampaikan berkaitan dengan masalah moral aborsi dan pembunuhan bayi. Refleksi
teologis ini penting bagi kami untuk menanggapi situasi dunia dewasa ini yang
sarat dengan budaya kematian. Saya mengutip Mat. 22:36-40 sebagai langkah dan
titik tolak dalam merefleksikan situasi ini. Banyak permasalahan dunia ini yang
sering kali mengorbankan orang lain. Sikap cinta terhadap sesama digandakan
demi keuntungan diri sendiri. Yesus sendiri sudah menjawab “Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri” (ay. 39). Kita mencintai sesama karena kita
menganggap yang lain itu sebagai yang sederajat atau sama dengan diri kita
sendiri. Kesederajatan ini mesti dipahami
secara radikal, jika tidak orang akan menyisakan cerita pembatas dan pembeda
dirinya dengan sesamanya.
Mencintai sesama manusia merupakan hukum penting yang diberikan oleh Yesus.
Prinsip dalam mencintai sesama bagi Yesus adalah pada Allah sendiri. Mencintai
Allah menjadi landasan bagi jiwa manusia dalam mencintai orang lain. Allah
menjadi ukuran cinta manusia. Maka, relasi yang dibangun antara sesame manusia
adalah relasi subyek-subyek, dan bukan subyek-obyek.
Sesama dalam arti bukan hanya sederajat tapi dia adalah juga subjek seperti
diri kita sendiri. Mendukung terciptanya kelanjutan hidup bagi bayi dalam
kandungan alasan bagi kita karena dia adalah sesama manusia.
Penolakan
dengan upaya pengguguran dan pembunuhan merupakan jalan yang bertentangan
dengan apa yang disabdakan Yesus. “Allah tidak menciptakan kematian dan tidak
bergembira atas kebinasaan apa yang hidup” (Keb 1:13). Manusia adalah ciptaan
Allah. Paus Paulus VI dalam ensikliknya Humanae Vitae 13 mengutip Paus
Yohanes XXIII, mengatakan, “Hidup manusia adalah sesuatu yang sakral, dari
sejak permulaannya, ia secara langsung melibatkan tindakan penciptaan oleh
Allah.”
Karena itu, manusia mempunyai dominasi yang terbatas atas tubuhnya; dominasi
berkembangbiak itu ditentukan oleh Allah untuk memberi kehidupan baru, di mana
Tuhan adalah sumber dan asalnya.
Akhirnya, manusia memiliki batas-batas
dalam hidupnya karena dia adalah ciptaan Allah. hanya Allah yang berhak atas
hidup manusia. Kewajiban manusia hanya untuk mencintai dan memperlakukan sesama
sebagaimana seharusnya. Manusia tidak punya hak untuk memutuskan hidup manusia
lain.
Penutup
Masalah aborsi sejauh ini merupakan
masalah yang sangat kompleks. Kaum pro pilihan tetap mempertentangkan alasan
dari Gereja terkait dengan larangan legal sekitar aborsi. Meski demikian, kita
dapat merasakan bahwa pertentangan itu terjadi asal demi keselamatan manusia.
Gereja lebih mengambil sikap tidak setuju dengan tindakan
aborsi yang disetujui kaum pro pilihan. Gereja dengan tegas dan dasar refleksi
teologisnya menyatakan bahwa fetus (janin) tetap merupakan manusia yang patut
untuk dilahirkan, dirawat, dan dipelihara. Dalam beberapa dekade
terakhir ini muncul tanda-tanda yang memberikan
hiburan berupa suatu kebangkitan kembali dari suara hati baik di antara kaum
intelektual maupun dalam pendapat umum itu sendiri. Ada suatu rasa hormat
terhadap kehidupan itu sendiri mulai dari saat dikandung. Gerakan-gerakan
pro kehidupan (pro life) mulai
tersebar. Ini merupakan ragi pengharapan untuk masa depan keluarga dan segenap
umat manusia.
Robby
Wirawan
Mahasiswa
STFT Widya Sasana
Semester
VI
Daftar
Pustaka: