Senin, 27 Agustus 2012

Artikel Hasil Pekan Orientasi Mahasiswa (POSMA)

WADAH PERTAMA
 PENDIDIKAN KRISTEN

Kristophorus Retas Steprih


Pendidikan merupakan salah satu makanan pokok bagi setiap manusia di era globalisasi jaman ini. Tanpa pendidikan yang matang, manusia tidak akan sanggup bertempur dan bersaing dalam dunia yang berdaya kreasi serta kreatif tinggi saat ini. Begitu banyak kemajuan yang amat mengagumkan dan menggairahkan dalam bidang teknologi yang dapat dirasakan oleh khalayak ramai. Teknologi dengan berbagai macam bentuk dan jenisnya mampu diperoleh di setiap sudut kota di dunia.
            Namun di samping itu, perkembangan dan kemajuan pendidikan teknologi canggih yang telah berlayar ke seluruh dunia tersebut, mau tidak mau harus diakui bahwa ternyata membawa serta dampak-dampak yang ada. Dampak-dampak yang dihasilkan oleh perkembangan IPTEK tersebut bisa berdampak positif, dalam artian menguntungkan bagi berbagai pihak dan juga berdampak negatif, dalam artian merugikan bagi sebagian pihak. Bagi anak-anak jaman, perkembangan dan kemajuan teknologi saat ini cenderung mengantar mereka pada sebuah bentuk ‘pemanjaan,’ dalam artian melemahkan daya juang mereka di medan pendidikan. Ini merupakan salah satu gambaran umum yang terlihat dengan kasat mata dalam dunia kini. Gambaran  ini secara tidak langsung mau menunjukkan bahwa kehadiran teknologi canggih tersebut lebih mengarahkan tunas-tunas bangsa dan Gereja atau para kaum muda-mudi pada arah yang kurang sesuai dengan harapan dari pendidikan tersebut. Seharusnya, dengan kelahiran dan perkembangan teknologi canggih itu manusia lebih menanamkan dan mengaktualisasikan sebuah semagat juang yang gigih dan mantap di medan pendidikan.
            Dalam tulisan ilmiah ini, penulis ingin mengkaji dan memaparkan suatu ide dan hasil pemikiran yang ada berdasarkan dokumen Konsili Vatikan II mengenai pernyataan tentang pendidikan Kristen (dok. Gravissimum Educationis). Seperti yang telah dipaparkan pada bagian awal mengenai perkembangan teknologi di era modernisasi sekarang ini, pada hakikatnya Gereja juga berhak untuk memiliki dan menggunakan media, hasil perkembangan IPTEK tersebut sebagai sarana untuk mendukung karya dan pelayanan Gereja; mewartakan Sabda dan kabar gembira Allah demi keselamatan seluruh umat kristiani di dunia. Pendidikan memang amat penting di dalam kehidupan manusia. Pengaruh dunia pendidikan itu cukup besar terhadap kemajuan sosial dewasa ini.
            Salah satu azas yang disebutkan dalam Konsili Suci mengenai pendidikan kristiani adalah tentang peran aktif dari keluarga yang sangat menentukan dalam membentuk sebuah karakteristik yang beriman dan berintelektual dari setiap pribadi yang ada. Dengan kata lain keluarga menjadi sebuah wadah yang pas untuk menyalurkan pendidikan terhadap pribadi yang ada, baik itu pendidikan tentang iman kristiani maupun pendidikan tentang ilmu pengetahuan umum. Inilah yang menjadi sebuah tugas dan tanggung jawab keluarga, sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Gereja dan lingkungan sosial. Tugas mendidik yang pada tempat pertama adalah wewenang keluarga, membutuhkan pula bantuan seluruh masyarakat.[1]  Keluarga memang merupakan salah satu wadah khusus yang menampung berbagai macam ilmu. Dengan kata lain, keluarga menjadi sekolah utama bagi orang-orang yang ingin bertumbuh dan berkembang. Di dalam keluarga-lah seseorang mampu memeroleh ilmu secara mendalam, karena keluarga menjadi dasar dalam hal pendidikan tersebut.
            Di dalam artikel yang ditulis oleh Yohanes Antonius Lelaona, yang dimuat dalam Majalah Kana edisi Mei 2012 (hal. 17), dipaparkan soal keluarga yang menjadi tonggak dasar dalam membangun suatu bangsa terutama dalam menciptakan kualitas hidup berintelektual dan spiritual seorang anak serta karakter hidupnya sehari-hari. Peran keluarga dalam mendorong semangat pendidikan sangatlah penting dan diharapkan setiap waktu. Ibarat sebuah pohon yang tumbuh di atas akar yang layu dan membusuk, pastilah pohon tersebut akan segera layu dan perlahan akan mati. Demikian halnya dengan keluarga. Keluarga menjadi dasar dan fondasi dalam membentuk suatu keutuhan dan kekuatan hidup di masa depan. Bila keluarga yang menjadi akar atau dasar hidup itu hancur, jelas karakter dan hasil yang akan ditampakkan juga akan hancur. Tetapi sebaliknya, jika akar atau fondasi yang adalah keluarga itu baik dan tangguh, besar kemungkinan bahwa karakter yang akan dihasilkan akan berbuah baik pula.
            Semua orang dari suku, kondisi atau usia manapun juga, berdasarkan martabat mereka selaku pribadi mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan. Begitu pula Konsili Suci menyatakan bahwa anak-anak dan kaum remaja berhak didukung, untuk belajar menghargai dengan suara hati yang lurus nilai-nilai moral, serta dengan tulus menghayatinya secara pribadi, pun juga untuk makin sempurna mengenal serta mengasihi Allah.[2] Konsili Suci mengharapkan agar setiap manusia memeroleh pendidikan yang baik dari berbagai pihak; entah itu melalui keluarga, masyarakat sosial, dan dari Gereja sendiri. Dalam hal ini, Gereja lebih menekankan mengenai sebuah pendidikan kristiani yang mesti diperoleh oleh setiap keluarga kristiani di manapun juga. Gereja turut berperan aktif dalam dunia pendidikan, sejauh pendidikan kristiani tersebut berhubungan dengan panggilan surgawi. Pendidikan kristen bukan hanya bertujuan untuk mendewasakan kepribadian manusia yang bersangkutan, menambah ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Gereja lebih menekankan nilai pendidikan tersebut pada sebuah cara untuk berproses dalam langkah untuk mendalami misteri keselamatan, menyadari karunia-karunia iman yang diterima dalam hidup setiap waktu, belajar mempersembahkan diri kepada Allah melalui perayaan-perayaan liturgi gereja; supaya pada akhirnya mereka semakin bertumbuh mencapai kedewasaan penuh dalam Kristus Yesus. Maka dari itu semua, keluarga menjadi patokan dasar dan tonggak dalam membangun pendidikan kristen di dalam keluarga; sebab keluarga merupakan gereja kecil yang juga berperan untuk mengantar setiap anak yang dititipkan Allah kepada jalan keselamatan. Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, terikat kewajiban amat berat untuk mendidik mereka. Maka orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama.[3] Keluarga menjadi yang utama dan menjadi sekolah yang pertama bagi setiap anak dalam menapaki jalan hidupnya di dunia. Di dalam keluargalah justru harus diajarkan dan ditanamkan berbagai macam nilai dan pandangan mengenai realitas hidup yang harus ditempuh dan dijalani sebagai sebuah bekal dalam perjalanan hidup di masa depan.
            Seperti yang telah digambarkan pada bagian sebelumnya, bahwa keluarga yang carut marut situasinya, kemungkinan besar akan menghasilkan benih yang berkarakteristik sama dengan apa yang diterima melalui situasi keluarga tersebut. Namun sebaliknya, keluarga yang harmonis, pasti akan membentuk suatu masyarakat yang baik dan harmonis pula. Dalam keluarga seseorang mengalami eccelesia domestica, rumah bagaikan sebuah gereja, dimana tradisi berdoa bersama dan makan bersama mulai ditanamkan.[4] Pedidikan kristen bermula dari hal-hal kecil semacam ini. Perkumpulan kecil di dalam keluarga menjadi sebuah bekal bagi setiap anak yang mengalami pertumbuhan serta perkembangan di dalam keluarga untuk mampu membawa nilai-nilai baik tersebut dalam hidupnya. Kegiatan rohani dalam kebersamaan di keluarga akan sangat memengaruhi sikap dan sifat serta gaya hidup seorang kristen di kemudian hari.
            Konsili Suci menyatakan “setiap anak dan kaum remaja berhak didukung, untuk belajar menghargai dengan suara hati yang lurus nilai-nilai moral, serta dengan tulus menghayatinya secara pribadi, pun juga untuk makin sempurna mengenal serta mengasihi Allah.” Keluarga menjadi suatu wadah mendasar yang membentuk akar kehidupan kristen di kemudian hari. Bersama keluarga, pendidikan kristen yang diinginkan oleh gereja dan masyarakat luas akan tercapai dengan baik sesuai dengan apa yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Antonius, Yohanes Lelaona, SVD. Kana (Majalah Keluarga) (judul artikel: Keluarga Tempat Pendidikan Pertama). Malang: PT. Dian’s Printing, Edisi Mei 2012.
Dokumen Gerejawi No. 33. (judul dok: Kedamaian dan Keluarga). Jakarta: Dokpen KWI, 1994.
Dokumen Konsili Vatikan II (Gravissimum Educationis). Jakarta: Dokpen KWI, 1992.
Sewaka, A, SJ. Ajaran dan Pedoman Gereja Tentang Pendidikan Katolik. Jakarta: Grasindo,        1991.
Suseno, Frans Magnis, SJ. Beriman Dalam Masyarakat-Butir-butir Teologi Kontekstual. Jakarta: Kanisius, 1992.

[1] Sewaka. A, SJ, Ajaran dan Pedoman Gereja Tentang Pendidikan Katolik (Jakarta, 1991), hal. 4
[2] Dokumen Konsili Vatikan II (Gravissimum Educationis) (Jakarta, 1992), hal. 23
[3] Dokumen Konsili Vatikan II (Gravissimum Educationis) (Jakarta, 1992), hal. 24-25
[4] Antonius, Yohanes Lelaona, SVD, Majalah Kana (judul artikel: Keluarga, Tempat Pendidikan Pertama)  (Malang, edisi Mei 2012), hal. 17

Sabtu, 25 Agustus 2012

Artikel Hasil Pekan Orientasi Mahasiswa (POSMA)


 Hidup Bersama dalam Gereja Katolik

Damaskus Damas,  CP


Pengantar
Dalam hidup, manusia tidak hanya berjalan seorang diri. Kodrat manusia adalah makhluk sosial. Setiap pengalaman dan peristiwa pasti akan selalu melibatkan lingkungannya yaitu sesamanya. Sesamanya akan selalu turut menghiasi pengalaman hidupnya.Kehadiran sesamanya akan memiliki nilai penuh serta kontribusi yang sangat besar dalam hidupnya dan mereka pasti akan mengalami kehampaan dalam setiap langkah hidupnyajika tanpa orang lain. Sangat mustahil manusia dapat hidup seorang diri.Ruang kosongnya pasti hanya akan dapat diisi oleh sesamanya. Melihat kenyataan tersebut, artinya manusia memiliki ketergantungan terhadap sesamanya. Ketergantungan yang terus menuntut manusia untuk terus berinteraksi dan dengan demikian maka mereka merupakan makhluk sosial. Makhluk yang terus berelasi dalam perziarahan hidupnya.
Hidup manusia itu sendiri memiliki nilai dan tujuan yang harus dicapai. Dan kenyataan ini terpaksa harus menuntut manusia untuk memberi dirikepada yang lain. Barang kali nilai tersebut membuat kita bertanya-tanya. Apakah itu? Dan mengapa harus dikejar? Selain sebagai makhluk sosial, manusia juga hadir dengan memiliki keyakinan dan keyakinan yang mereka miliki tentu hanya diarahkan pertama-tama untuk Sang sumber hidup. Maka terlepas dari ini, nilai kebajikan yang telah Allah tanam serta harta surgawi sudah barang tentu menjadi impian dan kerinduan bagi manusia itu sendiri. Nilai-nilai ini tidak akan bisa mereka raih tanpa ada kontak dan kerja sama dalam diri mereka. Bagaimanakah caranya?, mereka akan saling mengingatkan, mendorong, dan menopang.Ini merupakan nilai positif yang tertanam dalam hidup bersama. Tanpa kerja sama manusia tidak akan mampu, karenadalam perkembangannya mereka akan selalu bergulat dengan banyak tantangan. Dari segi intelek, manusia memang jauh lebih hebat dari sekian banyak ciptaan Tuhan, namun kelebihan itu, tidak bisa serta-merta dapat manusia olah dan andalkan, apalagi secara individu, ini jelas dapat menjatuhkan mereka sendiri. Manusia itu rapuh danhidup bersama menjadi salah satu cara untuk perkembangan hidupnya, Gereja dan dunia, ini penting untuk manusia sadari.

Kaum Religius dan  Inspirasinya
Dalam Gereja Katolik, terdapat 2 bentuk hidup religius, kelompok ini masing-masing memiliki ciri atau tanda untuk membedakan diri dengan yang lainnya. Ada pun kelompok ini ialah kaum rohaniwan dan kaum biarawan/i.  Kaum rohaniwan merupakan anggota hierarki pula. Rohaniwan menerima tahbisan suci dan dengan demikian menjadi anggota hierarki untuk menunaikan tugas gerejawi..[1] Sedangkan kaum biarawan/i adalah orang yang mengikrarkan ketiga kaul.[2] Rohaniwan tidak mengikrarkan kaul. Rohaniwan ada sebagai seorang yang membaktikan diri bagi Gereja, dan mereka merupakan kelompok sekuler. Namun mereka hidup dan berkarya sesuai dengan ketentuan Gereja, tidak menikah pula. Sedangkan kaul ketaatan tidak ada, begitu juga dengan kemiskinan.[3] Terlepas dari itu,  Tiga kaul yang diikrarkan oleh para biarawan/i  adalah kemiskinan,ketaatan, dan keperawanan. Kaul-kaul ini sebagai bentuk ungkapan dan suatu sarana bagi mereka untuk memberi diri, dan melalui ini pula para biarawan/i terbentuk dalam suatukongregasi atau tarekat. Kaum biarawan/i berada dalam suatu tarekat atas dasar ikatan persaudaraan, dan persaudaraan yang mereka bangun juga atas dasar cinta kasih.[4] Hidup mereka merupakan hidup bakti yang diberikan kepada Gereja dalam misi kerasulannya.
Jika diamati kehidupan kaum biarawan/i, berdiri bukanlah tanpa alasan yang tidak jelas atau tidak memiliki sumber atau inspirasi. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II dikatakan bahwa sumber atau inspirasi dari hidup bersama yang dilakukan oleh para biarawan/i adalah hidup bersama yang dibentuk menurut contoh Gereja purba yang hidup sehati dan sejiwa.[5] Dalam ikatan yang mereka bangun ini mereka akan menyerahkan diri secara total dan semangat yang mereka bangunkan tentu adalah semangat kebersamaan .Tidak akan ada lagi perbedaan dalam diri mereka, yang ada hanyalah sama, senasib dan sepenanggung. Selain dari itu mereka tidak ada lagi yang memandang sesama sebagai lawan atau saingan dalam perziarahan hidup namun yang ada hanyalah rekan yang memiliki motivasi dan tujuan yang sama pula. Untuk itu mereka pasti akan terus mengembangkan semangat cinta kasih dan saling menaruh rasa hormat yang tinggi pula bagi sesamanya. Mereka hidup seperti para rasul berkumpul bersama menjadi satu serta menyerahkan apa yang menjadi milik mereka kemudian dikumpulkan menjadi satu untuk kepentingan bersama pula.[6]

Tujuan dan Tantangannya
Terlepas dari poin tadi, hal yang harus dilihat adalah apa tujuan dari hidup yang telah terbentuk dalam Gereja Katolik tersebut. Apa pun yang ingin dilakukan dari bentuk hidup ini pertama-tama adalah sungguh-sungguh ingin memberikan diri untuk mewartakan karya keselamatan yang Allah berikan dengan  gratis kepada manusia. Pemberian diri ini sungguh membantu Gereja dalam tugasnya sebagai wujud perwakilan Allah di tengah dunia. Dengan keadaan begitu mereka hidup dalam kerasulan dan berkarya melalui cara atau keunikan yang dimiliki oleh masing-masing di antara mereka. Mereka yang membaktikan diri kepada pelayanan Gereja dengan pengudusan dirinya, berkewajiban untuk berkarya secara khusus dalam kegiatan misioner, dengan cara yang khas bagi lembaga mereka sendiri.[7]  Selain itu apa yang ada dalam hidup bersama dari para biarawan/i adalah sebagai tanda eskatologis. Maksudnya ialah tidak lagi mereka mengakui tujuan hidup duniawi namun ingin menunjukan kehidupan surgawi. Hidup duniawi adalah hidup yang lebih pada mamon dan benda-benda duniawi lainnya, sebaliknya hidup surgawi adalah mutlak dikejar dan ini bersifat abadi dan merupakan warisan dari Allah itu sendiri.
Membentuk dan hidup dalam komunitas bersama adalah perkara yang tidak mudah. Ini menuntut pengertian yang mendalam dari setiap pribadi yang bersangkutan. Mengapa demikian? Alasannya, hidup dalam suatu komunitas dengan memiliki latar belakang dan kebudayaan, atau ringkasnya karakter yang berbeda-beda, akan memicu keadaan atau ritme hidup itu sendiri. Artinya, setiap biarawan/i akan menemui banyak perbedaan di dalam kebersamaan itu. Sulit untuk dipungkiri bahwa dalam perjalanan waktu setiap pribadi yang di dalamnya pasti akan ada dan pernah mengalami perselisihan. Cara mengatasinya, Gereja sendiri menawarkan untuk terus memupuk semangat persaudaraan dan di dalamnya para biarawan/i dituntut untuk berlomba menaruh hormat di antara mereka.[8] Inilah yang menjadi landasan yang perlu untuk melihat dan mengatasi kesulitan ini.

Penutup
Gereja Katolik memiliki kelompok yang menjalankan hidup bersama dalam suatu komunitas dan hidup dalam semangat persaudaraan. Kebersamaan dalam komunitas ini, sebagai wujud peran Gereja dalam karya kerasulannya. Di dalam komunitas ini Gereja berkarya melalui pribadi yang ada di dalamnya, sekalipun kehadirannya membawa keunikan dan ciri khas masing-masing dan karakter yang berbeda ini pula menjadi kendala, namun keadaan ini baiknya tidak menenggelamkan semangat pelayanan Gereja dalam perkembangan dunia, justru keadaan seperti ini haruslah terus memompa semangat pelayanan Gereja. Bukankah di dalam perbedaan Gereja dapat saling mengisi. Hal ini kiranya perlu disadari oleh Gereja itu sendiri demi lancarnya tugas kegembalaannya dalam dunia nyata ini.

DAFTAR PUSTAKA
Jacobs, Tom. HidupMembiara. Yogyakarta: Kanisius. 1987.
KatekismusGerejaKatolik. Ende Flores: Arnoldus,1995. Terjemahanoleh:  Herman Embuiru, SVD.
KonsiliVatikan II. Obor, 1993.Terjemahanoleh: R. Hardawiryana, SJ.


[1]Tom Jacobs, HidupMembiara, Yogyakarta: Kanisius , 1987, hlm. 25.
[2]Ibid. hlm. 25
[3]Idem
[4]Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993, hlm.268, Terjemahan: R. Hardawiryana, SJ.
[5]Ibid hlm.268
[6]Bdk. Kis 4: 32
[7]KatekismusGerejaKatolik, Ende: Arnoldus, 1995, hlm. 271
[8]DokumenKonsiliVatikan II, Jakarta: Obor, 1993, hlm. 268, Terjemahan:R. Hardawiryana, SJ