Sabtu, 25 Agustus 2012

Artikel Hasil Pekan Orientasi Mahasiswa (POSMA)


 Hidup Bersama dalam Gereja Katolik

Damaskus Damas,  CP


Pengantar
Dalam hidup, manusia tidak hanya berjalan seorang diri. Kodrat manusia adalah makhluk sosial. Setiap pengalaman dan peristiwa pasti akan selalu melibatkan lingkungannya yaitu sesamanya. Sesamanya akan selalu turut menghiasi pengalaman hidupnya.Kehadiran sesamanya akan memiliki nilai penuh serta kontribusi yang sangat besar dalam hidupnya dan mereka pasti akan mengalami kehampaan dalam setiap langkah hidupnyajika tanpa orang lain. Sangat mustahil manusia dapat hidup seorang diri.Ruang kosongnya pasti hanya akan dapat diisi oleh sesamanya. Melihat kenyataan tersebut, artinya manusia memiliki ketergantungan terhadap sesamanya. Ketergantungan yang terus menuntut manusia untuk terus berinteraksi dan dengan demikian maka mereka merupakan makhluk sosial. Makhluk yang terus berelasi dalam perziarahan hidupnya.
Hidup manusia itu sendiri memiliki nilai dan tujuan yang harus dicapai. Dan kenyataan ini terpaksa harus menuntut manusia untuk memberi dirikepada yang lain. Barang kali nilai tersebut membuat kita bertanya-tanya. Apakah itu? Dan mengapa harus dikejar? Selain sebagai makhluk sosial, manusia juga hadir dengan memiliki keyakinan dan keyakinan yang mereka miliki tentu hanya diarahkan pertama-tama untuk Sang sumber hidup. Maka terlepas dari ini, nilai kebajikan yang telah Allah tanam serta harta surgawi sudah barang tentu menjadi impian dan kerinduan bagi manusia itu sendiri. Nilai-nilai ini tidak akan bisa mereka raih tanpa ada kontak dan kerja sama dalam diri mereka. Bagaimanakah caranya?, mereka akan saling mengingatkan, mendorong, dan menopang.Ini merupakan nilai positif yang tertanam dalam hidup bersama. Tanpa kerja sama manusia tidak akan mampu, karenadalam perkembangannya mereka akan selalu bergulat dengan banyak tantangan. Dari segi intelek, manusia memang jauh lebih hebat dari sekian banyak ciptaan Tuhan, namun kelebihan itu, tidak bisa serta-merta dapat manusia olah dan andalkan, apalagi secara individu, ini jelas dapat menjatuhkan mereka sendiri. Manusia itu rapuh danhidup bersama menjadi salah satu cara untuk perkembangan hidupnya, Gereja dan dunia, ini penting untuk manusia sadari.

Kaum Religius dan  Inspirasinya
Dalam Gereja Katolik, terdapat 2 bentuk hidup religius, kelompok ini masing-masing memiliki ciri atau tanda untuk membedakan diri dengan yang lainnya. Ada pun kelompok ini ialah kaum rohaniwan dan kaum biarawan/i.  Kaum rohaniwan merupakan anggota hierarki pula. Rohaniwan menerima tahbisan suci dan dengan demikian menjadi anggota hierarki untuk menunaikan tugas gerejawi..[1] Sedangkan kaum biarawan/i adalah orang yang mengikrarkan ketiga kaul.[2] Rohaniwan tidak mengikrarkan kaul. Rohaniwan ada sebagai seorang yang membaktikan diri bagi Gereja, dan mereka merupakan kelompok sekuler. Namun mereka hidup dan berkarya sesuai dengan ketentuan Gereja, tidak menikah pula. Sedangkan kaul ketaatan tidak ada, begitu juga dengan kemiskinan.[3] Terlepas dari itu,  Tiga kaul yang diikrarkan oleh para biarawan/i  adalah kemiskinan,ketaatan, dan keperawanan. Kaul-kaul ini sebagai bentuk ungkapan dan suatu sarana bagi mereka untuk memberi diri, dan melalui ini pula para biarawan/i terbentuk dalam suatukongregasi atau tarekat. Kaum biarawan/i berada dalam suatu tarekat atas dasar ikatan persaudaraan, dan persaudaraan yang mereka bangun juga atas dasar cinta kasih.[4] Hidup mereka merupakan hidup bakti yang diberikan kepada Gereja dalam misi kerasulannya.
Jika diamati kehidupan kaum biarawan/i, berdiri bukanlah tanpa alasan yang tidak jelas atau tidak memiliki sumber atau inspirasi. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II dikatakan bahwa sumber atau inspirasi dari hidup bersama yang dilakukan oleh para biarawan/i adalah hidup bersama yang dibentuk menurut contoh Gereja purba yang hidup sehati dan sejiwa.[5] Dalam ikatan yang mereka bangun ini mereka akan menyerahkan diri secara total dan semangat yang mereka bangunkan tentu adalah semangat kebersamaan .Tidak akan ada lagi perbedaan dalam diri mereka, yang ada hanyalah sama, senasib dan sepenanggung. Selain dari itu mereka tidak ada lagi yang memandang sesama sebagai lawan atau saingan dalam perziarahan hidup namun yang ada hanyalah rekan yang memiliki motivasi dan tujuan yang sama pula. Untuk itu mereka pasti akan terus mengembangkan semangat cinta kasih dan saling menaruh rasa hormat yang tinggi pula bagi sesamanya. Mereka hidup seperti para rasul berkumpul bersama menjadi satu serta menyerahkan apa yang menjadi milik mereka kemudian dikumpulkan menjadi satu untuk kepentingan bersama pula.[6]

Tujuan dan Tantangannya
Terlepas dari poin tadi, hal yang harus dilihat adalah apa tujuan dari hidup yang telah terbentuk dalam Gereja Katolik tersebut. Apa pun yang ingin dilakukan dari bentuk hidup ini pertama-tama adalah sungguh-sungguh ingin memberikan diri untuk mewartakan karya keselamatan yang Allah berikan dengan  gratis kepada manusia. Pemberian diri ini sungguh membantu Gereja dalam tugasnya sebagai wujud perwakilan Allah di tengah dunia. Dengan keadaan begitu mereka hidup dalam kerasulan dan berkarya melalui cara atau keunikan yang dimiliki oleh masing-masing di antara mereka. Mereka yang membaktikan diri kepada pelayanan Gereja dengan pengudusan dirinya, berkewajiban untuk berkarya secara khusus dalam kegiatan misioner, dengan cara yang khas bagi lembaga mereka sendiri.[7]  Selain itu apa yang ada dalam hidup bersama dari para biarawan/i adalah sebagai tanda eskatologis. Maksudnya ialah tidak lagi mereka mengakui tujuan hidup duniawi namun ingin menunjukan kehidupan surgawi. Hidup duniawi adalah hidup yang lebih pada mamon dan benda-benda duniawi lainnya, sebaliknya hidup surgawi adalah mutlak dikejar dan ini bersifat abadi dan merupakan warisan dari Allah itu sendiri.
Membentuk dan hidup dalam komunitas bersama adalah perkara yang tidak mudah. Ini menuntut pengertian yang mendalam dari setiap pribadi yang bersangkutan. Mengapa demikian? Alasannya, hidup dalam suatu komunitas dengan memiliki latar belakang dan kebudayaan, atau ringkasnya karakter yang berbeda-beda, akan memicu keadaan atau ritme hidup itu sendiri. Artinya, setiap biarawan/i akan menemui banyak perbedaan di dalam kebersamaan itu. Sulit untuk dipungkiri bahwa dalam perjalanan waktu setiap pribadi yang di dalamnya pasti akan ada dan pernah mengalami perselisihan. Cara mengatasinya, Gereja sendiri menawarkan untuk terus memupuk semangat persaudaraan dan di dalamnya para biarawan/i dituntut untuk berlomba menaruh hormat di antara mereka.[8] Inilah yang menjadi landasan yang perlu untuk melihat dan mengatasi kesulitan ini.

Penutup
Gereja Katolik memiliki kelompok yang menjalankan hidup bersama dalam suatu komunitas dan hidup dalam semangat persaudaraan. Kebersamaan dalam komunitas ini, sebagai wujud peran Gereja dalam karya kerasulannya. Di dalam komunitas ini Gereja berkarya melalui pribadi yang ada di dalamnya, sekalipun kehadirannya membawa keunikan dan ciri khas masing-masing dan karakter yang berbeda ini pula menjadi kendala, namun keadaan ini baiknya tidak menenggelamkan semangat pelayanan Gereja dalam perkembangan dunia, justru keadaan seperti ini haruslah terus memompa semangat pelayanan Gereja. Bukankah di dalam perbedaan Gereja dapat saling mengisi. Hal ini kiranya perlu disadari oleh Gereja itu sendiri demi lancarnya tugas kegembalaannya dalam dunia nyata ini.

DAFTAR PUSTAKA
Jacobs, Tom. HidupMembiara. Yogyakarta: Kanisius. 1987.
KatekismusGerejaKatolik. Ende Flores: Arnoldus,1995. Terjemahanoleh:  Herman Embuiru, SVD.
KonsiliVatikan II. Obor, 1993.Terjemahanoleh: R. Hardawiryana, SJ.


[1]Tom Jacobs, HidupMembiara, Yogyakarta: Kanisius , 1987, hlm. 25.
[2]Ibid. hlm. 25
[3]Idem
[4]Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993, hlm.268, Terjemahan: R. Hardawiryana, SJ.
[5]Ibid hlm.268
[6]Bdk. Kis 4: 32
[7]KatekismusGerejaKatolik, Ende: Arnoldus, 1995, hlm. 271
[8]DokumenKonsiliVatikan II, Jakarta: Obor, 1993, hlm. 268, Terjemahan:R. Hardawiryana, SJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar