Hidup Bersama dalam Gereja Katolik
Damaskus Damas, CP
Pengantar
Dalam hidup, manusia tidak hanya
berjalan seorang diri. Kodrat
manusia adalah makhluk sosial. Setiap pengalaman dan peristiwa pasti akan
selalu melibatkan lingkungannya yaitu sesamanya. Sesamanya akan selalu turut
menghiasi pengalaman
hidupnya.Kehadiran sesamanya akan memiliki nilai penuh serta kontribusi yang
sangat besar dalam hidupnya dan mereka pasti akan mengalami kehampaan dalam
setiap langkah hidupnyajika tanpa orang lain. Sangat mustahil manusia dapat
hidup seorang diri.Ruang kosongnya pasti hanya akan dapat diisi oleh sesamanya.
Melihat kenyataan tersebut, artinya manusia memiliki ketergantungan terhadap
sesamanya. Ketergantungan yang terus menuntut manusia untuk terus berinteraksi
dan dengan demikian maka mereka merupakan makhluk
sosial. Makhluk
yang terus berelasi dalam perziarahan hidupnya.
Hidup manusia itu sendiri memiliki
nilai dan tujuan yang harus dicapai. Dan kenyataan ini terpaksa harus menuntut
manusia untuk memberi
dirikepada yang lain. Barang kali
nilai tersebut membuat kita bertanya-tanya. Apakah itu? Dan mengapa harus
dikejar? Selain sebagai makhluk
sosial, manusia juga hadir dengan memiliki keyakinan dan keyakinan yang mereka
miliki tentu hanya diarahkan pertama-tama untuk Sang sumber hidup. Maka
terlepas dari ini, nilai kebajikan yang telah Allah tanam serta harta surgawi
sudah barang tentu menjadi impian dan kerinduan bagi manusia itu sendiri.
Nilai-nilai ini tidak akan bisa mereka raih tanpa ada kontak dan kerja sama
dalam diri mereka. Bagaimanakah caranya?, mereka akan saling mengingatkan,
mendorong, dan menopang.Ini merupakan nilai positif yang tertanam dalam hidup
bersama. Tanpa kerja sama
manusia tidak akan mampu, karenadalam perkembangannya mereka akan selalu
bergulat dengan banyak tantangan. Dari segi intelek, manusia memang jauh lebih
hebat dari sekian banyak ciptaan Tuhan, namun kelebihan itu, tidak bisa
serta-merta dapat manusia olah dan andalkan, apalagi secara individu, ini jelas
dapat menjatuhkan mereka sendiri. Manusia itu rapuh danhidup bersama menjadi salah satu cara untuk perkembangan
hidupnya, Gereja dan dunia, ini penting untuk
manusia sadari.
Kaum Religius dan Inspirasinya

Jika diamati kehidupan kaum biarawan/i,
berdiri bukanlah tanpa alasan yang tidak jelas atau tidak memiliki sumber atau
inspirasi. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II dikatakan bahwa sumber atau
inspirasi dari hidup bersama yang dilakukan oleh para biarawan/i adalah hidup
bersama yang dibentuk menurut contoh Gereja purba yang hidup sehati dan sejiwa.[5]
Dalam ikatan yang mereka bangun ini mereka akan menyerahkan diri secara total
dan semangat yang mereka bangunkan tentu adalah semangat kebersamaan .Tidak
akan ada lagi perbedaan dalam diri mereka, yang ada hanyalah sama, senasib dan
sepenanggung. Selain dari itu mereka tidak ada lagi yang memandang sesama
sebagai lawan atau saingan dalam perziarahan hidup namun yang ada hanyalah
rekan yang memiliki motivasi dan tujuan yang sama pula. Untuk itu mereka pasti
akan terus mengembangkan semangat cinta kasih dan saling menaruh rasa hormat
yang tinggi pula bagi sesamanya. Mereka
hidup seperti para rasul berkumpul bersama
menjadi satu serta menyerahkan apa yang menjadi milik mereka kemudian
dikumpulkan menjadi satu untuk kepentingan bersama pula.[6]
Tujuan dan
Tantangannya
Terlepas dari poin tadi, hal yang
harus dilihat adalah apa tujuan dari hidup yang telah terbentuk dalam Gereja
Katolik tersebut. Apa pun yang ingin dilakukan dari bentuk hidup ini
pertama-tama adalah sungguh-sungguh ingin memberikan diri untuk mewartakan
karya keselamatan yang Allah berikan dengan
gratis kepada manusia. Pemberian diri ini sungguh membantu Gereja dalam
tugasnya sebagai wujud perwakilan Allah di tengah dunia. Dengan keadaan begitu
mereka hidup dalam kerasulan dan berkarya melalui cara atau keunikan yang
dimiliki oleh masing-masing di antara mereka. Mereka yang membaktikan diri
kepada pelayanan Gereja dengan pengudusan dirinya, berkewajiban untuk berkarya
secara khusus dalam kegiatan misioner, dengan cara yang khas bagi lembaga
mereka sendiri.[7] Selain itu apa yang ada dalam hidup bersama
dari para biarawan/i adalah sebagai tanda eskatologis. Maksudnya ialah tidak
lagi mereka mengakui tujuan hidup duniawi namun ingin menunjukan kehidupan
surgawi. Hidup duniawi adalah hidup yang lebih pada mamon dan benda-benda
duniawi lainnya, sebaliknya hidup surgawi adalah mutlak dikejar dan ini
bersifat abadi dan merupakan warisan dari Allah itu sendiri.
Membentuk dan hidup dalam komunitas
bersama adalah perkara yang tidak mudah. Ini menuntut pengertian yang mendalam
dari setiap pribadi yang bersangkutan. Mengapa demikian? Alasannya, hidup dalam
suatu komunitas dengan memiliki latar belakang dan kebudayaan, atau ringkasnya
karakter yang berbeda-beda, akan memicu keadaan atau ritme hidup itu sendiri.
Artinya, setiap biarawan/i akan menemui banyak perbedaan di dalam kebersamaan
itu. Sulit untuk dipungkiri bahwa dalam perjalanan waktu setiap pribadi yang di
dalamnya pasti akan ada dan pernah mengalami perselisihan. Cara mengatasinya,
Gereja sendiri menawarkan untuk terus memupuk semangat persaudaraan dan di
dalamnya para biarawan/i dituntut untuk berlomba menaruh hormat di antara
mereka.[8]
Inilah yang menjadi landasan yang perlu untuk melihat dan mengatasi kesulitan
ini.
Penutup
Gereja Katolik memiliki kelompok
yang menjalankan hidup bersama dalam suatu komunitas dan hidup dalam semangat
persaudaraan. Kebersamaan dalam komunitas ini, sebagai wujud peran Gereja dalam
karya kerasulannya. Di dalam komunitas ini Gereja berkarya melalui pribadi yang
ada di dalamnya, sekalipun kehadirannya membawa keunikan dan ciri khas
masing-masing dan karakter yang berbeda ini pula menjadi kendala, namun keadaan
ini baiknya tidak menenggelamkan semangat pelayanan Gereja dalam perkembangan
dunia, justru keadaan seperti ini haruslah terus memompa semangat pelayanan
Gereja. Bukankah di dalam perbedaan Gereja dapat saling mengisi. Hal ini
kiranya perlu disadari oleh Gereja itu sendiri demi lancarnya tugas
kegembalaannya dalam dunia nyata ini.
DAFTAR PUSTAKA
Jacobs, Tom. HidupMembiara.
Yogyakarta: Kanisius. 1987.
KatekismusGerejaKatolik.
Ende Flores: Arnoldus,1995. Terjemahanoleh: Herman Embuiru, SVD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar