Rabu, 13 Februari 2013

Etika Politik



BAHASA SEBAGAI INSTRUMEN MENDOMINASI MENURUT PIERRE BOURDIEU 

Rikardus Nsalu

1.      Pengantar
            Bahasa merupakan salah satu unsur penting dan khas dalam hidup manusia, yaitu sebagai instrumen berkomunikasi. Akan tetapi, Pierre Bourdieu memahami bahasa tidak hanya sebagai instrumen berkomunikasi tetapi juga sebagai instrumen untuk mendominasi orang lain. Sebagai instrumen untuk mendominasi orang lain, bahasa merupakan sebuah instrumen untuk memertahankan dan merebut status quo. Bahasa merupakan sarana untuk memertahankan dan memerjuangkan kekuasaan. Sejalan dengan itu, bahasa merupakan instrument untuk memeras orang lain. Tulisan ini terdiri atas pengantar, riwayat hidup Pierre Bourdieu, bahasa sebagai instrumen mendominasi, dan simpulan.


2.      Riwayat Hidup Pierre Bourdieu[1]
Pierre Bourdieu lahir di desa Denguin, Pyrenia Atlantik (Perancis) pada 1 Agustus 1930. Ia berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang pegawai kantor pos. Masa kecilnya ia lewati di tempat kelahirannya. Setiap hari ia bergaul dengan anak-anak dari keluarga petani, penjaga toko dan buruh pabrik.
Menginjak masa remaja, Bourdieu menempuh pendidikan di lycée (Sekolah Menengah Atas) di Pau. Kecemerlangan intelektualnya memermudah Bourdieu mendapat beasiswa. Dengan bantuan seorang gurunya, ia pindah ke Lycée Louis-le-Grand di Paris, sebuah sekolah yang sangat prestisius dan berkualitas. Pada 1951, ia masuk ke Ecole Normale Supérieure (ENS), sebuah institusi pendidikan terkenal dan bermutu di kota Paris. Di sinilah beberapa pemikir Perancis pernah mengenyam pendidikan, seperti Jean-Paul Sartre, Emmanuel Levinas, Jacques Derrida, Michael Foucault dan sebagainya. Di ENS, Bourdieu belajar filsafat pada Louis Althusser.
Ketika Bourdieu menempuh pendidikan di ENS, latar belakang kehidupan pedesaan sangat memengaruhinya. Ia merasa rendah diri dan tidak mampu bersaing dengan teman-temannya yang berasal dari kota dan keluarga kaya. Selain itu, pengalaman kuliah di ENSmemunculkan rasa dendam atas perjumpaannya dengan para intelektual Perancis. Kepada Jacques Derrida seorang rekan kuliahnya di ENS, Bourdieu mengatakan, “Saya tidak pernah merasa gembira selama di universitas dan saya tidak pernah mengalami dan takjub terhadap keajaiban di dalamnya, bahkan di tahun-tahun pertama sebagai mahasiswa baru”.[2]
Setelah menjadi sarjana filsafat, Bourdieu menjadi pengajar lycée di Moulins (1955). Pada 1956-1958, ia mengikuti wajib militer di Aljazair. Pada 1958-1960, ia mengajar di Universitas Aljazair. Selain menjadi dosen, ia juga melakukan riset etnografis tentang kehidupan masyarakat Kabyle dari suku Berber. Hasil risetnya kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul The Algerians (1958).
Setelah pulang wajib militer dari Aljazair, Bourdieu mengajar di Universitas Sorbone (1961-1962). Pada 1962, ia menikah dengan Marie-Claire Brizard. Akan tetapi, perkawinannya tersebut bertahan hanya sampai pada 1983. Dari Brizard, ia memeroleh tiga orang putra. Pada 1962-1964, ia mengajar di Fakultas Sastra Universitas Lille. Pada 1964, ia menjadi direktur École des Hautes Études en Sciences Sociales(ÉHESS).
Pada 1968-2002, ia menjadi direktur Centre de Sociologie Européenne, sebuah lembaga yang didirikan oleh Raymond Aron. Pada 1975, Bourdieu bersama Luc Boltanski, meluncurkan jurnal interdisiplin Actes de la Recherche en Sciences Sociales (ARSS). Pada 1981, Bourdieu diangkat menjadi pakar sosiologi sekaligus menjabat sebagai ketua jurusan sosiologi di Collège de France (sebelumnya pernah dijabat oleh Raymond Aron, Maurice Halbwachs dan Marcel Mauss).
Pada 1993, Bourdieu mendapat penghargaan "Médaille d'or du Centre National de la Recherche Scientifique" (CNRS). Kemudian pada 1996, ia menerima Goffman Prizedari University of California-Berkeley. Pada 2002, ia meraih Medali Huxley dari Royal Anthropological Institute. Ia meninggal dunia pada 23 Januari 2002 karena penyakit kanker.


3.      Bahasa Sebagai Instrumen Mendominasi
Bahasa merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia. Ia menjadi instrumen fundamental dalam berkomunikasi. Bahasa juga menjadi instrumen yang dapat merepresentasikan identitas penggunanya: karakter, sikap, kemampuan intelektual, pekerjaan, dan sebagainya. Akan tetapi, bahasa juga merupakan instrumen yang membelenggu atau mendominasi manusia. Terry Eagleton mengatakan bahwa bahasa adalah kekuatan dalam perang dan damai. Ia menjadi ajang pergulatan cinta dan dusta. Ia menjadi ranah pertentangan, trik dan intrik. Bahasa adalah pemicu sekaligus penengah, penjara sekaligus jalan tengah, racun sekaligus obat.[3]
Salah satu tokoh yang mengkaji tentang bahasa sebagai instrumen yang mendominasi orang lain adalah Pierre Bourdieu. Dalam pandangan Bourdieu, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai sarana berkomunikasi, tetapi juga sebagai sarana untuk mendominasi orang lain (kekerasan). Bahasa dilihat sebagai sebuah instrumen bagi pihak yang berkuasa untuk melanggengkan kekuasaannya dan memeras orang lain. Ketika bahasa menjadi instrumen untuk mendominasi orang lain, bahasa dengan demikian menjadi sarana terwujudnya kekerasan. Fauzi Fazhri mengatakan, “Bahasa bukan sekedar konstruk otonom yang melibatkan segenap aturan tatabahasa, pilihan kata, atau rangkaian kalimat-kalimat. Bahasa juga merupakan tindakan pembentukdunia, semacam aktivitas yang mengandung tujuan di dalamnya. Tujuan yang melekat dalam bahasa bisa berupa kepentingan politik di mana bahasa dieksploitasi sebagai “kuda tunggangan” bagi kekuasaan tertentu.”[4]
Dalam Language and Symbolic Power, Bourdieu menunjukkan bagaimana relasi antara bahasa dengan kekuasaan. Bahasa merupakan instrumen yang digunakan oleh pihak yang berkuasa untuk menyatakan kekuasaannya. Sebagai sebuah instrumen untuk menyatakan kekuasaan, bahasa dianggap legitimate (sah) bergantung pada siapa yang memunculkan dan melontarkannya. Bahasa yang dimunculkan atau dilontarkan oleh orang yang memiliki kuasa dalam masyarakat akan lebih mudah diterima dan dipercaya oleh orang lain. Misalnya, ucapan seorang romo kepada umat katolik. Umat lebih percaya pada apa yang dikatakan oleh romo tersebut daripada kalau orang lain yang mengatakannya. Meskipun apa yang dikatakan oleh romo tersebut sama dengan apa yang dikatakan oleh orang lain yang bukan romo.
Bahasa merupakan instrumen efektif bagi terlaksananya kekerasan. Bahasa menjadi sarana efektif yang dipraktikkan oleh pelaku sosial untuk mengontrol pelaku sosial yang lain, dengan tujuan utama adalah menciptakan dtnia yang diinginkan.[5]Kekuatan bahasa untuk menciptakan sebuah dominasi dan kekuasaan didasarkan pada akumulasi modal penggunanya. Dengan kata lain, praktik kekuasaan dan dominasi tidak bisa dilepaskan dari akumulasi modal.[6] Orang yang mengakumulasi modal dalam jumlah yang banyak cenderung memiliki dan memraktikkan kekuasaan atau dominasinya kepada orang lain. Para pelaku sosial yang menempati posisi dominan dalam suatu ranah sosial adalah mereka yang diberkahi atau mereka yang secara istimewa memiliki akses terhadap berbagai jenis modal.[7]Pada tataran ini, bahasa dilihat sebagai sebuah “kuda tunggangan” bagi kelompok dominan untuk melanggengkan kekuasaannya. Ketika bahasa menjadi kuda tunggangan kelompok berkuasa, bahasa dengan demikian menjadi sarana kekerasan.
Menurut Bourdieu, bahasa merupakan sarana untuk menunjukkan kekuasaan penggunanya. Bahasa yang digunakan oleh seseorang menunjukkan siapa dirinya atau status sosialnya dalam masyarakat. Dengan demikian, bahasa merupakan manifestasi diri dari penggunanya. Sebuah konsep atau wacana dianggap legitimate bergantung pada siapa yang memunculkan dan melontarkan konsep atau wacana tersebut. Publik lebih percaya apabila suatu konsep atau wacana dimunculkan atau dilontarkan oleh orang yang memiliki kuasa dan status sosial lebih tinggi dalam masyarakat. Bourdieu mengatakan, What creates the power of words and slogans, a power capable of maintaining or subverting the social order, is the belief in the legitimacy of words and of those who utter them.[8]John B. Thompson dalam Kata Pengantar bukunya Bourdieu, Language and Symbolic Power mengatakan, “As competent speakers we are aware of the many ways in which linguistic exchange can express relations of power. We are sensitive to the variations in accent, intonation and vocabulary which reflect different positions in the social hierarchy. We are aware that individuals speak with differing degrees of authority, that words are loaded with unequal weights, depending on who utters them and how they are said, such that some words uttered in certain circumstances have a forces and a conviction that they would not have elsewhere. We are experts in the innumerable and subtle strategies by which words can be used as instrumens of coercion and constraint as tools of intimidation and abuse, as signs politeness, condescension and contempt.”[9]
Kekuatan bahasa untuk mendominasi orang lain tidak berasal dari dirinya sendiri, tetapi dari akumulasi modal khususnya modal simbolis penggunanya. Selain itu, kekuatan bahasa juga tidak dapat dipisahkan dari keberadaan institusi[10] yang mendefinisikan kondisi-kondisi (seperti tempat, waktu, agen) yang harus dipenuhi. Peran institusi menjadi penting guna memberikan otoritas kepada pengguna bahasa (speakers).[11] Ujaran-ujaran tersebut hanya dapat diucapkan oleh orang tertentu yang diberi atau yang memiliki otoritas.


4.      Simpulan
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa tidak hanya sebagai instrumen berkomunikasi, tetapi juga sebagai instrumen untuk mendominasi orang lain. Artinya, dalam dan melalui bahasa seseorang atau sekelompok orang mampu mewujudkan kekuasaan dan kekerasan kepada orang lain. Dengan demikian, bahasa merupakan sebuah sarana untuk memerjuangkan dan memertahankan status quo atau kekuasaan pihak tertentu. Bahasa merupakan sebuah senjata untuk melindungi diri dan sekaligus untuk memerasa orang lain.


Daftar Pustaka

Adlin, Alfatri (ed.). Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta: Jalasutra, 2006. 
Bourdieu, Pierre. Language and Symbolic Power, terj. Gino Raymond & Matthew Adamson. Cambridge: Polity Press, 1991.
_____________ dan Loic D. J. Wacquant.  An Invitation to Reflexive Sosiology. Cambridge: Polity Press, 1996.
Fashri, Fauzi. Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu.Yogyakarta: JUXTAPOSE, 2007.
Mahar, Cheleen, Richard Harker dan Chris Wilkes, (eds.). (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, terj. Pipit Maizier. Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
BASIS Edisi Khusus Pierre Bourdieu, Nomor 11-12, Tahun Ke-52, November-Desember 2003.
Wikipedia. “Pierre Bourdieu”, (dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Pierre_Bourdieu). Akses pada 22 September 2011 pukul 09. 43 WIB di Joyo Grand-Malang.



[1] Bdk. Wikipedia, “Pierre Bourdieu”, (dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Pierre_Bourdieu). Akses pada 22 September 2011 pukul 09. 43 WIB di Joyo Grand-Malang.
[2] Pierre Bourdieu dan Loic D. J. Wacquant,  An Invitation to Reflexive Sosiology, (Cambridge: Polity Press, 1996), hlm. 45.
[3] Terry Eagleton, What is Ideology, seperti yang dikutip oleh Idi Subandy Ibrahim, “Imaji Perempuan di Media”, dalam Alfatri Adlin (ed.), Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hlm. 276. 
[4]Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu, (Yogyakarta: JUXTAPOSE, 2007), hlm. 81.
[5]Suma Riella Rusdiarti, “Bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan”, dalam BASIS Nomor 11-12, Tahun Ke- 52, November-Desember 2003, hlm.39.
[6]Menurut Bourdieu, modal adalah“prinsip diferensiasi” dan “prinsip hierarkisasi” yang berlaku dalam masyarakat.Pierre Bourdieu,  Language and Symbolic Power, terj. Gino Raymond & Matthew Adamson, (Cambridge: Polity Press, 1991),  hlm. 245.Dalam pandangan Bourdieu, ada empat jenis modal.Pertama, modal ekonomi (economy capital). Modal ini berupa mesin, uang, tanah, dan harta milik. Kedua, modal budaya (cultural capital). Modal ini mencakup antara lain ijazah, pengetahuan pribadi, cara berbicara, seni, bahasa, pendidikan, karakter pribadi dan kemampuan menulis. Ketiga, modal sosial (social capital). Modal sosial meliputi relasi-relasi sosial yang menentukan kedudukan sosial seseorang. Yang termasuk modal sosial adalah hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Keempat, modal simbolis (symbolic capital). Yang termasuk modal simbolis adalah prestise, prestasi, status, harga diri, martabat, atensi, kantor megah di kawasan elite, senyum, gelar pendidikan, dan nama besar universitas tempat seseorang menimba ilmu.
[7]Fauzi Fashri, Op. Cit., hlm.3.
[8] Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, Op. Cit., hlm. 170.
[9] Ibid., hlm. 1.
[10] Menurut John B. Thompson, institusi yang dimaksudkan oleh Bourdieu bukan berarti sebuah lembaga atau organisasi tertentu, tetapi berlaku bagi keseluruhan relasi sosial yang relatif terus bertahan, yang memberikan berbagai bentuk kekuasaan, status, dan sumber daya hidup kepada individu-individu. Institusi inilah yang memberikan otoritas kepada penutur untuk melakukan tindakan sebagaimana ujaran yang ia ucapkan dalam ujaran performatif. Tidak sembarang orang dapat meminta sepasang pengantin mengucapkan janjinya di depan altar atau di depan hakim. Tidak semua orang dapat mengatakan, “Dengan ini saya resmikan kapal Queen Elizabeth”, “Dengan ini saya nikahkan….”, dan sebagainya. Hanya orang yang diberi otoritas yang dapat melakukan tindakan-tindakan tersebut. John B. Thompson dalam Kata Pengantar buku Language and Symbolic Power karya Pierre Bourdieu,hlm. 8-9.
[11] Fauzi Fashri, Op. Cit., hlm. 119. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar