BAHASA SEBAGAI INSTRUMEN MENDOMINASI MENURUT PIERRE BOURDIEU
Menginjak masa remaja,
Bourdieu menempuh pendidikan di lycée (Sekolah
Menengah Atas) di Pau. Kecemerlangan
intelektualnya memermudah Bourdieu mendapat beasiswa. Dengan bantuan seorang
gurunya, ia pindah ke Lycée Louis-le-Grand di Paris, sebuah sekolah yang
sangat prestisius dan berkualitas. Pada 1951, ia masuk ke Ecole Normale Supérieure (ENS), sebuah institusi pendidikan
terkenal dan bermutu di kota Paris. Di sinilah beberapa pemikir Perancis pernah
mengenyam pendidikan, seperti Jean-Paul Sartre, Emmanuel Levinas, Jacques
Derrida, Michael Foucault dan sebagainya. Di ENS, Bourdieu belajar filsafat
pada Louis
Althusser.
Dalam
Language and Symbolic Power, Bourdieu
menunjukkan bagaimana relasi antara bahasa dengan kekuasaan. Bahasa merupakan
instrumen yang digunakan oleh pihak yang berkuasa untuk menyatakan
kekuasaannya. Sebagai sebuah instrumen untuk menyatakan kekuasaan, bahasa
dianggap legitimate (sah) bergantung
pada siapa yang memunculkan dan melontarkannya. Bahasa yang dimunculkan atau
dilontarkan oleh orang yang memiliki kuasa dalam masyarakat akan lebih mudah
diterima dan dipercaya oleh orang lain. Misalnya, ucapan seorang romo kepada umat katolik. Umat lebih percaya pada apa yang
dikatakan oleh romo tersebut daripada kalau
orang lain yang mengatakannya. Meskipun apa yang dikatakan oleh romo tersebut sama dengan apa
yang dikatakan oleh orang lain yang
bukan romo.
Menurut Bourdieu, bahasa merupakan sarana untuk menunjukkan kekuasaan penggunanya. Bahasa yang digunakan oleh seseorang menunjukkan siapa
dirinya atau status sosialnya dalam masyarakat. Dengan demikian, bahasa
merupakan manifestasi diri dari penggunanya. Sebuah konsep atau wacana dianggap
legitimate bergantung pada siapa yang
memunculkan dan melontarkan konsep atau wacana tersebut. Publik lebih percaya
apabila suatu konsep atau wacana dimunculkan atau dilontarkan oleh orang yang
memiliki kuasa dan status sosial lebih tinggi dalam masyarakat. Bourdieu
mengatakan, “What creates the power of words and slogans, a power
capable of maintaining or subverting the social order, is the belief in the
legitimacy of words and of those who utter them.”[8]John B. Thompson dalam Kata Pengantar bukunya Bourdieu, Language and Symbolic Power mengatakan,
“As competent speakers we are aware of
the many ways in which linguistic exchange can express relations of power. We
are sensitive to the variations in accent, intonation and vocabulary which
reflect different positions in the social hierarchy. We are aware that
individuals speak with differing degrees of authority, that words are loaded
with unequal weights, depending on who utters them and how they are said, such
that some words uttered in certain circumstances have a forces and a conviction
that they would not have elsewhere. We are experts in the innumerable and
subtle strategies by which words can be used as instrumens of coercion and
constraint as tools of intimidation and abuse, as signs politeness,
condescension and contempt.”[9]
Rikardus Nsalu
1. Pengantar
Bahasa merupakan salah satu unsur
penting dan khas dalam hidup manusia, yaitu sebagai instrumen berkomunikasi. Akan
tetapi, Pierre Bourdieu memahami bahasa tidak hanya sebagai instrumen
berkomunikasi tetapi juga sebagai instrumen untuk mendominasi orang lain. Sebagai
instrumen untuk mendominasi orang lain, bahasa merupakan sebuah instrumen untuk
memertahankan dan merebut status quo.
Bahasa merupakan sarana untuk memertahankan dan memerjuangkan kekuasaan. Sejalan dengan itu,
bahasa merupakan instrument untuk memeras orang lain. Tulisan
ini terdiri atas pengantar, riwayat hidup Pierre Bourdieu, bahasa sebagai
instrumen mendominasi, dan simpulan.
2. Riwayat Hidup Pierre
Bourdieu[1]
Pierre Bourdieu lahir di
desa Denguin, Pyrenia Atlantik (Perancis) pada 1 Agustus 1930. Ia berasal dari
keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang pegawai kantor pos. Masa kecilnya ia
lewati di tempat kelahirannya. Setiap hari ia bergaul dengan anak-anak dari
keluarga petani, penjaga toko dan buruh pabrik.

Ketika Bourdieu menempuh
pendidikan di ENS, latar belakang kehidupan pedesaan sangat memengaruhinya. Ia
merasa rendah diri dan tidak mampu bersaing dengan teman-temannya yang berasal
dari kota dan keluarga kaya. Selain itu, pengalaman kuliah di ENSmemunculkan
rasa dendam atas perjumpaannya dengan para intelektual Perancis. Kepada Jacques
Derrida seorang rekan kuliahnya di ENS, Bourdieu mengatakan, “Saya tidak pernah
merasa gembira selama di universitas dan saya tidak pernah mengalami dan takjub
terhadap keajaiban di dalamnya, bahkan di tahun-tahun pertama sebagai mahasiswa
baru”.[2]
Setelah menjadi sarjana
filsafat, Bourdieu menjadi pengajar lycée
di Moulins (1955). Pada 1956-1958, ia mengikuti wajib militer di Aljazair. Pada
1958-1960, ia mengajar di Universitas Aljazair. Selain menjadi dosen, ia juga
melakukan riset etnografis tentang kehidupan masyarakat Kabyle dari suku Berber. Hasil risetnya kemudian
diterbitkan menjadi buku dengan judul The
Algerians (1958).
Setelah pulang wajib
militer dari Aljazair, Bourdieu mengajar di Universitas Sorbone (1961-1962).
Pada 1962, ia menikah dengan Marie-Claire Brizard. Akan tetapi, perkawinannya
tersebut bertahan hanya sampai pada 1983. Dari Brizard, ia memeroleh tiga orang
putra. Pada 1962-1964, ia mengajar di Fakultas Sastra Universitas Lille. Pada
1964, ia menjadi direktur École des Hautes
Études en Sciences Sociales(ÉHESS).
Pada 1968-2002, ia menjadi
direktur Centre de Sociologie Européenne,
sebuah lembaga yang didirikan oleh Raymond Aron. Pada 1975, Bourdieu bersama Luc Boltanski, meluncurkan jurnal
interdisiplin Actes de la Recherche en
Sciences Sociales (ARSS). Pada 1981, Bourdieu diangkat menjadi pakar
sosiologi sekaligus menjabat sebagai ketua jurusan sosiologi di Collège de France (sebelumnya pernah
dijabat oleh Raymond
Aron, Maurice Halbwachs dan Marcel Mauss).
Pada 1993, Bourdieu
mendapat penghargaan "Médaille d'or
du Centre National de la Recherche Scientifique" (CNRS). Kemudian pada 1996, ia
menerima Goffman Prizedari University of California-Berkeley. Pada 2002, ia meraih
Medali Huxley dari Royal Anthropological Institute. Ia meninggal dunia pada
23 Januari 2002 karena penyakit kanker.
3. Bahasa Sebagai
Instrumen Mendominasi
Bahasa merupakan salah
satu unsur penting dalam kehidupan manusia. Ia menjadi instrumen fundamental
dalam berkomunikasi. Bahasa juga menjadi instrumen yang dapat merepresentasikan
identitas penggunanya: karakter, sikap, kemampuan intelektual, pekerjaan, dan
sebagainya. Akan tetapi, bahasa juga merupakan instrumen yang membelenggu atau
mendominasi manusia. Terry Eagleton mengatakan bahwa bahasa adalah kekuatan
dalam perang dan damai. Ia menjadi ajang pergulatan cinta dan dusta. Ia menjadi
ranah pertentangan, trik dan intrik. Bahasa adalah pemicu sekaligus penengah,
penjara sekaligus jalan tengah, racun sekaligus obat.[3]
Salah
satu tokoh yang mengkaji tentang bahasa sebagai instrumen yang mendominasi
orang lain adalah Pierre Bourdieu. Dalam pandangan Bourdieu, bahasa tidak hanya
berfungsi sebagai sarana berkomunikasi, tetapi juga sebagai sarana untuk
mendominasi orang lain (kekerasan).
Bahasa dilihat sebagai sebuah instrumen bagi pihak yang berkuasa untuk
melanggengkan kekuasaannya dan memeras orang lain. Ketika bahasa menjadi
instrumen untuk mendominasi orang lain, bahasa dengan demikian menjadi sarana
terwujudnya kekerasan. Fauzi Fazhri mengatakan,
“Bahasa bukan sekedar konstruk otonom yang melibatkan segenap aturan tatabahasa,
pilihan kata, atau rangkaian kalimat-kalimat. Bahasa juga merupakan tindakan pembentukdunia,
semacam aktivitas yang mengandung tujuan di dalamnya. Tujuan yang melekat dalam
bahasa bisa berupa kepentingan politik di mana bahasa dieksploitasi sebagai
“kuda tunggangan” bagi kekuasaan tertentu.”[4]

Bahasa merupakan
instrumen efektif bagi terlaksananya kekerasan. Bahasa menjadi sarana efektif
yang dipraktikkan oleh pelaku sosial untuk mengontrol pelaku sosial yang lain,
dengan tujuan utama adalah menciptakan dtnia yang diinginkan.[5]Kekuatan bahasa untuk menciptakan sebuah dominasi dan kekuasaan
didasarkan pada akumulasi modal penggunanya. Dengan kata lain, praktik
kekuasaan dan dominasi tidak bisa dilepaskan dari akumulasi modal.[6]
Orang yang mengakumulasi modal dalam jumlah yang banyak cenderung memiliki dan
memraktikkan kekuasaan atau dominasinya kepada orang lain. Para pelaku sosial
yang menempati posisi dominan dalam suatu ranah sosial adalah mereka yang
diberkahi atau mereka yang secara istimewa memiliki akses terhadap berbagai jenis
modal.[7]Pada tataran ini, bahasa
dilihat sebagai sebuah “kuda tunggangan” bagi kelompok dominan untuk
melanggengkan kekuasaannya. Ketika bahasa menjadi kuda tunggangan kelompok
berkuasa, bahasa dengan demikian menjadi sarana kekerasan.

Kekuatan
bahasa untuk mendominasi orang lain tidak berasal dari dirinya sendiri, tetapi
dari akumulasi modal khususnya modal simbolis penggunanya. Selain itu, kekuatan bahasa juga tidak
dapat dipisahkan dari keberadaan institusi[10]
yang mendefinisikan kondisi-kondisi (seperti tempat, waktu, agen) yang harus
dipenuhi. Peran institusi menjadi penting guna memberikan otoritas kepada
pengguna bahasa (speakers).[11]
Ujaran-ujaran tersebut hanya dapat diucapkan oleh orang tertentu yang diberi
atau yang memiliki otoritas.
4.
Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa tidak
hanya sebagai instrumen berkomunikasi, tetapi juga sebagai instrumen untuk
mendominasi orang lain. Artinya, dalam dan melalui bahasa seseorang atau
sekelompok orang mampu mewujudkan kekuasaan dan kekerasan kepada orang lain.
Dengan demikian, bahasa merupakan sebuah sarana untuk memerjuangkan dan
memertahankan status quo atau
kekuasaan pihak tertentu. Bahasa merupakan sebuah senjata untuk melindungi diri
dan sekaligus untuk memerasa orang lain.
Daftar Pustaka
Adlin, Alfatri (ed.). Menggeledah
Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta: Jalasutra,
2006.
Bourdieu, Pierre. Language
and Symbolic Power, terj. Gino Raymond &
Matthew Adamson. Cambridge: Polity Press, 1991.
_____________ dan Loic D. J. Wacquant. An
Invitation to Reflexive Sosiology. Cambridge: Polity Press, 1996.
Fashri, Fauzi. Penyingkapan
Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu.Yogyakarta:
JUXTAPOSE, 2007.
Mahar, Cheleen, Richard Harker dan Chris Wilkes, (eds.). (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik:
Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, terj. Pipit
Maizier. Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
BASIS Edisi Khusus Pierre Bourdieu, Nomor 11-12, Tahun
Ke-52, November-Desember 2003.
Wikipedia. “Pierre Bourdieu”,
(dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Pierre_Bourdieu).
Akses pada 22 September 2011 pukul 09. 43 WIB di Joyo Grand-Malang.
[1] Bdk. Wikipedia, “Pierre Bourdieu”, (dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Pierre_Bourdieu). Akses pada 22 September 2011 pukul 09. 43 WIB di Joyo Grand-Malang.
[2]
Pierre Bourdieu dan Loic D. J. Wacquant,
An Invitation to Reflexive
Sosiology, (Cambridge: Polity Press, 1996), hlm. 45.
[3] Terry Eagleton, What
is Ideology, seperti yang dikutip oleh Idi Subandy Ibrahim, “Imaji
Perempuan di Media”, dalam Alfatri Adlin (ed.), Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hlm. 276.
[4]Fauzi
Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol:
Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu, (Yogyakarta: JUXTAPOSE,
2007), hlm. 81.
[5]Suma
Riella Rusdiarti, “Bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan”, dalam BASIS
Nomor 11-12, Tahun Ke- 52, November-Desember 2003, hlm.39.
[6]Menurut Bourdieu, modal adalah“prinsip diferensiasi” dan “prinsip hierarkisasi”
yang berlaku dalam masyarakat.Pierre Bourdieu, Language
and Symbolic Power, terj. Gino Raymond & Matthew Adamson, (Cambridge:
Polity Press, 1991), hlm. 245.Dalam pandangan Bourdieu, ada empat
jenis modal.Pertama, modal ekonomi (economy
capital). Modal ini berupa mesin, uang, tanah, dan harta milik. Kedua, modal budaya (cultural capital). Modal ini mencakup antara lain ijazah, pengetahuan
pribadi, cara berbicara, seni, bahasa,
pendidikan, karakter pribadi dan
kemampuan menulis. Ketiga, modal sosial
(social capital). Modal sosial meliputi relasi-relasi sosial yang
menentukan kedudukan sosial seseorang. Yang termasuk modal sosial adalah hubungan-hubungan dan jaringan
hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan
reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Keempat,
modal simbolis (symbolic capital).
Yang termasuk modal simbolis adalah prestise, prestasi, status, harga diri,
martabat, atensi, kantor megah di kawasan
elite, senyum, gelar pendidikan, dan nama besar universitas tempat seseorang menimba
ilmu.
[10]
Menurut John B. Thompson, institusi yang dimaksudkan oleh Bourdieu bukan
berarti sebuah lembaga atau organisasi tertentu, tetapi berlaku bagi
keseluruhan relasi sosial yang relatif terus bertahan, yang memberikan berbagai
bentuk kekuasaan, status, dan sumber daya hidup kepada individu-individu.
Institusi inilah yang memberikan otoritas kepada penutur untuk melakukan
tindakan sebagaimana ujaran yang ia ucapkan dalam ujaran performatif. Tidak
sembarang orang dapat meminta sepasang pengantin mengucapkan janjinya di depan
altar atau di depan hakim. Tidak semua orang dapat mengatakan, “Dengan ini saya
resmikan kapal Queen Elizabeth”,
“Dengan ini saya nikahkan….”, dan sebagainya. Hanya orang yang diberi otoritas
yang dapat melakukan tindakan-tindakan tersebut. John B. Thompson dalam Kata
Pengantar buku Language and Symbolic
Power karya Pierre Bourdieu,hlm. 8-9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar